Skip to main content

My Life As a Writer



Setelah buku seri My Life As an Actor terbit, akhirnya seri My Life As a Writer keluar juga. Buku itu dibuat oleh Haqi Achmad dan Ribhka Anastasia. Mereka mengemas pengalaman lima penulis (Alanda Kariza, Clara Ng, Farida Susanty, Dewi Lestari, dan Vabyo) tentang seluk beluk kehidupan mereka sebagai penulis dalam sebuah buku. Buku ini dikemas dengan gaya quote dan konsep penulisan seperti tulisan di majalah. Buku My Life As a Writer terbagi menjadi lima bagian yang isinya adalah wawancara setiap penulis yang jadi narasumber.

Banyak hal-hal yang saya dapet dari buku ini. Ternyata, bercita-cita menjadi penulis itu gak mudah. Pun, sekelas Dewi Lestari pernah ngalamin kegagalan. Satu hal yang saya percayai dari buku ini bahwa semua orang bisa menulis.

“Faktor untuk menjadi penulis bukan bakat semata. Melainkan kerja keras.” Dewi Lestari, hal 119.

Katanya, untuk menjadi penulis ya harus menulis. Semua bergantung pada latihan, seberapa keras usaha kita untuk gak berhenti, dan keras kepala untuk terus mencoba. Yang menentukkan bukan bakat, tapi persistensi untuk terus maju.

Saya adalah pembaca terloyal tulisan saya. Saya sering baca kembali tulisan saya yang dulu sampai sekarang. Kalau saya boleh menilai diri sendiri, saya melihat sebuah perubahan gaya penulisan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Dari situ saya mulai menyadari, bahwa gak ada yang ga bisa kalau kita berlatih. Walaupun masih sangat jauhhhh dari bagus, tapi saya yakin semua itu berproses. Ibaratnya dulu nilai saya masih 5 dan sekarang 7, kenapa gak tulisan saya beberapa tahun yang akan datang bernilai 9? Saya selalu percaya dan sudah membuktikannya sendiri bahwa peribahasa alah bisa karena biasa itu benar adanya. ;)

Dulu, saya sering sirik sama orang yang bisa nulis di blog nya pake bahasa inggris. Saya pengen bisa. Karena kadang banyak hal yang bisa lebih praktis jika diungkapkan dengan bahasa inggris. Karena ada hal-hal yang terlihat menjijikan jika ditulis dengan bahasa indonesia. Contohnya hal-hal tentang cinta. Haha. Tuhkan, jijay.

Setelah baca blog orang itu, saya sirik ;(. Saya mengkerdilkan diri saya bahwa saya gak bisa. Saya hanya menghabiskan waktu mengagumi betapa hebatnya orang lain dan meratapi kekurangan diri. Hingga akhirnya saya belajar, saya niat banget buat bisa, ngerjain buku toefl ampe muak, sedikit demi sedikit akhirnya saya mulai berani buat artikel pake bahasa inggris walaupun pasti banyak grammar yang masih miss, tapi saya gak peduli. Namanya juga belajar. Ya gak sih?

Saya, secara personal, lebih menghargai orang yang mau usaha walaupun salah, dibandingkan orang yang udah jago tapi selalu nyinyir kesalahan orang. Atau yang lebih parah, dia yang gak ngelakuin apa-apa menyinyir orang yang lagi usaha dan sedang salah.

Ada satu moment dimana saya tertegun dan bilang, ‘oh bener ya kalau usaha gak ada yang gak bisa’. Prinsip itu saya bawa kemana-mana dan diyakini terus untuk meraih impian saya buat nerbitin buku. Walaupun selalu aja ada bisikan syaiton yang terkutuk yang bilang bahwa saya gak bisa.. saya gak bisa.. dan bikin saya mikir saya emang gak bisa.

Tapi rasa penasaran saya tentang perwujudan mimpi bikin saya tendang jauh-jauh bisikan itu. Sesungguhnya saya belum pernah punya mimpi yang terwujud. Saya penasaraaaan banget gimana rasanya punya mimpi dan terwujud. Saya pengen bisa nerbitin buku utamanya bukan karena saya pengen terkenal atau dapet uang dari situ, saya cuma pengen tau sebenernya saya bisa gak sih wujudin mimpi saya sendiri? Rasanya kaya apa sih punya mimpi dan…. terwujud?*Merinding mode:on*

Alasan lain kenapa saya berusaha wujudin ini karena saya pengen jadi contoh kongkrit buat anak saya kelak. Bahwa mimpi itu bisa terwujud loh, nak. Jadi ketika dia kelak menginginkan sesuatu yang baik di dalam hidupnya, dia gak perlu nonton acara motivasi Mario Teguh atau follow @NasehatSuper untuk menggembleng semangatnya. Cukup denger cerita saya jaman muda aja tentang perwujudan mimpi. Nah, coba pikir apa jadinya kalau apa yang saya nasehatkan tidak pernah saya lakukan? I am gonna be super widemouth mom. She/he will be sleeping in the middle of my warn.

Ya, kembali ke buku ini.
Kata @pewski, jika kita menyianyiakan kemampuan yang Allah kasih kepada kita, kita bisa jadi kufur nikmat. Maka dari itu kita harus explore dan mengembangkannya. Dari dulu saya seneng nulis diary. Apalagi kalau baru putus. HAHA. Saya (Alhamdulillah) sering mendapatkan compliment yang baik dari orang lain atas apa yang saya tulis. Saya bisa menghabiskan waktu lama hanya untuk menulis. Lupa makan hingga maag saya kambuh. Kata seorang psikolog, bakat saya ada di bidang literasi (tulis menulis). Saya punya kemampuan spasial dimana bisa dengan mudah menempatkan diri di tempat yang harus dibayangkan dalam ruang dengan bentuk imajinasi. Saya sering bikin film sendiri di otak saya, membayangkan siapa tokohnya, bagaimana latar ceritanya, seperti apa setting tempatnya, dan menuangkannya di sebuah tulisan. Dan saya merasa paling nyaman kalau berkomunikasi lewat tulisan. Apa disini passion saya? Kalau iya, jangan sampai saya kufur nikmat. Apalah artinya bakat ini kalau lupa untuk berdoa dan usaha buat ngembanginnya.
Tapi saya gak mau jadikan kegiatan menulis sebagai sebuah profesi tetap. Menjadi penulis hanya sebuah tujuan yang akan terus saya raih walaupun gak tau kapan terwujudnya. Saya juga pengen melakukan rutinitas lain seperti bekerja di sebuah perusahaan dan menjadi dosen. Tapi menulis akan menjadi hal yang akan saya lakukan sampai saya menutup mata. :)

Saya sampai di halaman bagian wawancara dengan Farida Susanty. Dia adalah gadis berusia 23 tahun lulusan psikologi unpad penulis novel best seller Dan Hujan Pun Berhenti. Dia juga pendiri @writingsession. Saya sering ikut berpartisipasi di @writingsession yang dia buat. Baginya, menulis adalah media untuk berbagi apa yang ada di pikirannya. Dia bilang bahwa ide yang masuk ke dalam pikirannya adalah tanggung jawab baru untuk disebarkan menjadi sebuah pemikiran yang mungkin saja menginspirasi orang. Pasti ada hal intrapersonal yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Allah SWT ke orang lain melalui tangan Farida. Dia menulis tidak untuk mengejar penghargaan atau apapun sejenisnya. Dia bilang, kalau menulis harus jujur. Bikin sebuah cerita tanpa mikir apa-apa. Tanpa harus dibebani untuk biar terkenal atau buat ngerasa keren-keren an doang. Oke statement ini cukup berhasil nampar saya sampai ke Pluto. Saya bilang juga apa, pujian itu mematikan. Saya sering merasa “puas” dengan pujian yang orang kasih ke saya. Pujian bikin saya ngerasa tulisan saya sudah baik. Cuih. Padahal saya menyadari bahwa mungkin pemberi pujian itu belum meng compare tulisan saya dengan tulisan orang lain di luar sana yang 1000 kali lipat lebih bagus. Mau saya kasih lihat tulisan orang lain yang lebih edan? Hehe. Jika mereka sudah meng compare nya, akan ada banyak celah untuk bisa dikritik yang sebenarnya harus saya dapatkan untuk progress tulisan saya.

Saya mau memberitahukan sebuah rahasia. Yang kini sudah bukan rahasia -_-. Semenjak saya intens menulis, saya selalu dihadapkan dengan banyak kejadian yang gak biasa. Bertemu, mendengar, dan mengalami berbagai macam kejadian yang banyak pelajaran di dalamnya. Lalu Allah pun memberikan saya kepekaan untuk memahami sesuatu lebih dalam. Mungkin Allah tau saya rada ‘bocor’ di blog, segala hal yang menurut saya patut di sebar, saya sebar tanpa sensor. Jadi Allah membuat saya mengalami berbagai macam hal tersebut untuk jadi bahan tulis yang sebenarnya manfaatnya bukan hanya buat saya tapi juga buat orang lain. Bukankan cara Allah itu hebat?

Karena sekarang saya meyakini bahwa tulisan bukan hanya sebuah penyaluran kata-kata ke dalam sebuah cerita belaka. Tulisan adalah cara Allah menyampaikan sesuatu kepada  orang lain melalui penulisnya. Ini bukan lagi sebuah perwujudan mimpi, ini adalah tugas luar biasa yang harus saya emban seumur hidup selama saya tetap menulis. Semoga jadi amal ibadah. Aamiin.

Terimakasih Ya Allah. Terimakasih ya, buku My Life As a Writer. I hear you, I hear you. I’ve got the message. ;)

Mailida, April 2013

Comments

Popular posts from this blog

Mengatur Belanja Seminggu

Selama saya menikah, pengeluaran yang gak kekontrol itu pengeluaran makan. Awalnya, sebelum bikin meal preparation setiap minggunya, yang saya lakukan adalah belanja ke pasar setiap hari pulang kantor ((( setiap hari )))).  Dan itu boros banget. Mana sisa makanan pada kebuang karena busuk. Belum lagi sayur yang gampang layu dan gak bisa diolah. Yah.....namanya juga learning by doing ya. Akhirnya saya nemu cara belanja yang jauh lebih efektif, efisien, dan ekonomis. Namanya meal preparation . Dilakukan seminggu sekali dan disimpan dengan baik ke dalam storage box. Sekarang jadwal wajib saya setiap minggu pagi adalah ke pasar tradisional atau pasar modern diantar abang. Beli sayur dan lauk untuk keperluan seminggu ke depan. Dan tau gak sih, ternyata kalau kita well planned, pengeluaran makanan bisa sangat efisien. Manfaat yang saya dapet itu,  Bahan makanan pas habis dalam seminggu hampir tanpa sisa yang kebuang Hemat waktu dan hemat energi Pengeluaran makan gak boros Lebih

Pesan Moral Manusia ½ salmon

Beberapa menit yang lalu saya baru aja selesai baca buku nya raditya dika yang baru yang judulnya manusia setengah salmon. Awalnya agak sinis ama isi buku ini. Saya pikir, “Ah paling buku humor guyonan biasa aja. Ala raditya dika aja lah gimana. Lumayan lah buat cekakak cekikik. Itung-itung hiburan.” Saya pun sempet nyesel sebelum membaca buku itu secara keseluruhan. Tau gitu beli buku lain yang lebih bermutu. Yang lebih berat. Yang kontennya ‘lebih pintar’. Pikir saya. Ibu saya pun sempet nanya pas saya mau bayar ke kasir. “ Jadinya beli buku itu? Ngasih manfaat gak?” Di dalem hati saya menjawab. Let me see. Setelah beberapa hari buku itu terbengkalai, akhirnya saya baca juga ampe selesai. Emang sih banyak banget cerita yang bikin saya cekakak cekikik ampe ketawa-ketawa sendiri. Ok, it’s so raditya dika. Saya gak kaget. Hingga akhirnya saya berada di chapter terakhir buku ini. Chapter yang bikin saya mengemukakan pertanyaan monolog di otak saya. Is that you, raditya dika

Bahagia & Dian Sastrowardoyo

Apa itu bahagia? Semua orang menginginkannya. Hari ini saya mendapatkan sebuah pelajaran lagi tentang apa itu bahagia. *** Sebuah wawancara, Hitam Putih – Dian Sastrowardoyo “ Aku itu ambisius banget. Aku itu banyak mau. Tapi ternyata aku baru sadar dunia ini lebih enteng kalau kita gak terlalu ambisius-ambisius amat. Karena I have everything that I want to ternyata.” Waktu hamil, karirnya sedang berada di puncak. Awalnya agak menyalahkan kehamilan ini, tapi setelah syaelendra lahir dia bahagia sekali. Jika dirunut kebelakang, Dian adalah seorang yang ambisius dari kecil. Menurutnya, definisi ambisius adalah focus dan determine banget untuk mencapai apa yang dia mau. Dari umur 10 tahun dia sudah ingin sekolah di luar negeri more than anything in the world. Di umur segitu dia melakukan riset bagaimana caranya mendapatkan uang banyak agar bisa membiayai sekolahnya di luar negeri. Ternyata menjadi artis adalah salah satu cara untuk mendapatkan uang banyak karena ibunya