#9
Orang Asing.
“
Kenapa kau munculkan dirimu?”
“Karena
dia memang menginginkannya.”
“Kau
benar-benar mengambil resiko sangat besar. Kau bisa membahayakannya.”
***
Dia
mengenakan sweater wol berwarna zaitun dengan syal hitam membingkai ketat
lehernya. Tangan kirinya menggenggam sebuah buku yang dibatasi dengan ibu jari
untuk menandai halaman terakhir yang dia baca. Kacamata baca dia tenggerkan di
atas kepala. Pagi itu Kemung disapanya dengan pipi yang merona, mata bahagia,
dan tawa lepas Sadira. Alia mengamatinya dari bawah rumah pohon. Semenjak
pengakuan sore itu, Alia mencari tahu lelaki yang selalu Sadira ceritakan.
Siapa dia? Dan darimana dia datang?
“Al, akhirnya pintu hati ini telah terbuka. Nampak
seseorang telah menemukan kuncinya. Padahal aku sudah membuang kunci itu ke
samudra hindia dan menanamkannya di dasar lautan. Dia pasti berusaha sangat
keras untuk bisa mendapatkannya.”
Tak banyak
informasi yang bisa Alia dapatkan selain cerita Sadira setiap bertemu dengan
orang asing yang dia akui bernama Gasta itu. Sadira selalu menceritakannya penuh
semangat dengan satu nafas. Bagaimana caranya berjalan, mengikat sepatu dengan
gigi, memberikan lelucon, sarkastiknya, lagu-lagu yang dimainkan dari harmonika,
berpetualang bersama, melindunginya dari bahaya, semua diutarakan sangat
detail.
Aku butuh
waktu untuk menerima keberadaan orang asing itu. Sampai kapan aku harus
berpura-pura menerima keberadaannya? Tapi selama Sadira bahagia, aku bisa apa.
Alia.
***
Pagi ini
Sadira bangun lebih awal. Dia memakai baju hangat yang tebal. Udara yang dingin
membuat nafasnya mengeluarkan embun. Alia sedang bebenah. Dia memasak menu baru
untuk Kemung. Sadira membantu mengiris tomat dan beberapa selada. Mereka akan
membuat salad buah. Jendela dapur berada di sisi kanan berhadapan dengan pagar
utama. Sadira terus saja melihat ke luar melalui jendela. “Gasta lama sekali.”
Katanya dengan gusar. Alia hanya sesekali melihat ke luar. Dia membuka lemari
pendingin dan mengambil beberapa buah-buahan. Sadira membantu Alia mengupas apel.
Tak lama Sadira memberikan apel yang baru dikupas setengahnya kepada Alia. “Dia
sudah menjemput ku, Al. Aku pergi dulu ya!” Alia mencondongkan kepalanya ke
arah pagar. Dia melanjutkan kupasan apelnya. “Orang itu datang lagi.”
***
Mereka
mengayuh sepeda menuju lapangan kuning di belakang rumah. Sebuah lapang luas
berisi ribuan bunga matahari yang tumbuh tinggi. Gasta mengenakan topi berwarna
kelabu dengan jaket biru tua kebesaran lengkap dengan sepatu olahraganya. Dia menyalip
sepeda Sadira dan melambaikan tangan ke belakang.
“Bisakah
kau mengalah dan membuat ku menyusul mu?” Teriak Sadira yang bercucuran
keringat mengejar Gasta dari belakang.
“Bisakah
kau berhenti mengeluh dan mengayuh sepeda mu dengan kaki dan bukan dengan mulut
mu?” Balas Gasta sambil mempercepat kakinya memutar kayuh meninggalkan Sadira
jauh.
“Bisakah
kau tidak menyebalkan?” kata Sadira pelan sambil berusaha keras menaiki
tanjakan. Sejauh mata memandang di kanan dan kirinya hanya ada pepohonan.
Tetesan air dari hujan semalam membasahi rerumputan dan dedaunan. Gasta tak
lagi terlihat, Sadira melewati jalan setapak sendirian sambil terus saja
menggerutu.
Gasta
sudah berada disana. Lapangan kuning dimana bunga matahari serempak mengarah ke
kanan. Dia tidur-tiduran di sebuah ayunan yang terbuat dari kain yang diikat di
antara dua pohon. Dia merebahkan badannya dengan tangan yang dilipat ke
belakang sambil melihat pemandangan di bawah bukit. Gedung perkantoran yang berjejer, mobil yang
berseliweran, dan rumah padat penduduk yang saling berhimpitan.
“Kau!”
Sadira yang kelelahan baru saja sampai. Dia memarkirkan sepedanya di sebelah
sepeda Gasta. Brak! Sadira sedikit
membantingnya. Dia terkejut sendiri dan segera memeriksa apakah ada yang rusak
dengan sepedahnya. Gasta yang mendapati Sadira sedang berjalan cepat menuju
dirinya dengan raut muka geram langsung membalikkan badannya ke arah berlawanan
sambil pura-pura tertidur. “Perang dunia ke 3 dimulai.” gumamnya sambil
tersenyum.
“ GASTA!
AKU BERADA JAUH DI BELAKANG MU DAN KAU PERGI MENINGGALKAN KU DAN AKU TADI
TERJATUH DAN KAU TIDAK MENOLONGKU DAN AKU TAKUT SENDIRIAN DI TENGAH HUTAN
LEMBAB DAN KAU TAK MENDENGAR TERIAKAN KU DAN AKU KESAL.” Sadira berbicara tanpa
henti. Dia mengambil nafas. Dan tak lupa membuangnya.
“Gasta?”
Dia tak mendapatkan respon apa-apa.
“Hai, kau
sudah datang” Gasta membalikkan badan sambil menguap. Tanpa sepengetahuannya, Sadira
membalikkan ayunan hingga membuat Gasta jatuh ke tanah.
“Aku cukup
pintar untuk kau bodohi dengan trik menguap mu yang sudah tersohor itu.”
Katanya sambil mengangkat dagu dan mengibaskan rambut.
Gasta mencoba
bangkit dan membersihkan badannya dari serpihan tanah. Dia mendekati Sadira
pelan-pelan. Sadira mundur perlahan. Dengan cepat Gasta mengapit kepala Sadira
dengan ketiaknya dan mengacak rambut panjangnya. Sadira meronta, dia berteriak,
Gasta membungkam mulutnya, Sadira menggigitnya, Gasta menjepit hidungnya,
Sadira menjambak rambutnya, Gasta mengelitikinya, Sadira tertawa.
“Dan aku
cukup pintar untuk bisa menggagalkan kemarahanmu,kan?”
Pipinya
memerah. Bibirnya tak sanggup menahan senyum. “Aku benci ketika kau berhasil
membuat ku tertawa ketika aku sedang kesal kepada mu!”
“Aku
menang.” Ucapnya dengan muka menantang.
“Hari ini
saja!” balas Sadira sambil mengambil alih ayunan.
Sadira
menyenderkan kepalanya ke bahu Gasta. Mereka duduk di atas ayunan sambil
memandang pemandangan kota di bawahnya. Gasta memainkan harmonikanya. Sadira
bernyanyi yang liriknya dia buat spontan saja.
Jika aku buku maukah kau menjadi
pembatasnya?
Jika aku angin sore maukah kau menjadi
senja?
Jika aku pisau tajam akankah kau
pengasahnya?
Katakan ya. Aku tak ingin mendengar
tidak.
Katakan ya jika tak ingin aku murka.
Jika aku jerawat dan kau komedo
mungkin kita bisa bersahabat
Jika aku Emerald Pez kau harus jadi
Peter Folks
Kau bilang aku tak bisa diam tapi kau
yang membuatku tak diam
Kau bilang aku mengganggu tapi kau pantas diganggu.
Maka kemarilah aku ingin bisikkan
sesuatu.
Who am I, without you?
Gasta
menghentikan harmonikanya. Dia memandang Sadira yang masih saja bernyanyi dan
bergoyang-goyang di sebelahnya. Sadira menciptakan suara simbal dari
desisannya, memukul paha nya sebagai pengganti drum, dan kadang pura-pura
menyodorkan mic ke penonton. Sadira sesekali memandang Gasta sekilas sebagai
afirmasi atas ke sok-asikannya. Gasta menatapnya dengan mata yang berbinar.
Tangan kanannya merangkul Sadira lalu membekap mulut wanita itu. “Suara mu buruk. Tapi aku cinta padamu.”
***
Alia
bolak-balik melihat jam. Seharian ini dia gelisah karena dari pagi Sadira
meminta izin untuk pergi dengan lelaki itu. Satu persatu pengunjung bergantian
pulang. Ini sudah sore, dan langit mulai gelap. Alia mulai membereskan kedai.
Dia merapikan beberapa buku, mencuci gelas, dan memasukkan bahan makanan ke
dalam kulkas dengan mata yang terus saja mengarah keluar. Kemana Sadira?
“Alia, aku
pulang dulu ya. Oh ya, aku tak melihat dia seharian ini. Kemana Sadira?”
seorang pengunjung bertanya. Alia menjawab dengan gelengan. Kini pengunjung
terakhir telah pulang.
Kini di
rumah itu hanya ada dirinya. Alia membenamkan dirinya di atas kursi sambil
berkeluh panjang. Entah sudah keberapa kalinya dia melihat jam. Dia bangkit
dari tempatnya dan mengganti papan open
di kaca menjadi close. Alia
melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dia
membalikkan badan, matanya mengarah pada rumah pohon. Dia memandang rumah pohon
dan pagar utama bergantian memastikan bahwa Sadira belum datang. Dengan cepat
Alia pergi menuju rumah pohon. Dia ingin mencari sesuatu. Dan berharap
mendapatkan sesuatu. Dengan kaki gemetar, dia menaiki setiap anak tangga dengan
penuh doa. Sungguh Alia harus diberi apresiasi besar atas usahanya melawan rasa
takut dengan ketinggian.
Dia masuk
ke dalam rumah pohon. Mengamati beberapa barang yang tak pernah dilihatnya. Karena
memang inilah tempat yang jarang dia kunjungi.
Sebuah
toples berisi kerikil berwarna warni
yang di dalamnya berisi sebuah kertas yang digulung menghiasi salah satu sudut
meja. Alia membukanya. Ternyata sebuah surat yang pernah Ayah sadira berikan
sebelum meninggal. Salah satu kalimat telah dilingkari.
Aku beritahukan
sebuah rahasia: Perpisahan tak akan menyakitkan jika pertemuannya diawali
ketika menutup mata.
Sebuah
kalimat yang sepertinya penuh makna tapi tak dipahaminya. Alia menggulungnya
kembali dan memasukkannya dengan rapi. Dia menuju tempat tidur, Alia menemukan
sebuah foto perempuan tua sedang mengenakan gaun putih selutut dengan rambut
yang disanggul. Wanita tua ini sedang berpelukan dengan dua anak perempuan.
Foto itu terselip di bawah bantal. Dia mengambilnya, terdapat tulisan I miss you ibu dibaliknya.
Seumur hidupnya Alia tak pernah memanggil
seseorang dengan sebutan ibu. Dia menerawang sambil menghayati bagaimana
rasanya merindukan seorang ibu.
Alia
kembali menyusuri rumah pohon. Seburat senja yang masuk melalui celah pintu
memantulkan cahaya melalui pecahan cermin ke mukanya. Pantulan itu
menggiringnya pada sesuatu. Dia mendekati pecahan cermin itu. Alia mendapati beberapa foto hasil dari kamera
Polaroid berserakan di atas tumpukan koper tua. Dia memandanginya satu persatu. Memang tak ada yang kebetulan. Ucapnya
dalam hati sambil memandang pecahan cermin itu.
Tiba-tiba
terdengar suara bel sepeda yang dibunyikan seperti sedang bersaut-sautan. Dia ambil
satu foto dan menyelipkannya ke dalam buku diary dengan tergesa-gesa.
Sadira
sudah datang. Alia langsung membereskan beberapa barang yang berpindah dari
tempat asalnya dan lekas turun menemui Sadira. Alia berlari dengan panik karena
takut ketahuan.
“Alia,
maaf aku tak membantu mu seharian ini. Tadi aku pergi berkeliling dengannya
hingga lupa waktu. Oh iya, kenalkan Al, ini pacar ku yang sering aku ceritakan
padamu. Anggasta Guntara.” Dia diam sejenak. Dengan canggung Alia menjabat
tangannya dan tak lupa memberikan senyum ke arah samping Sadira. Sadira
menyikut lengan Gasta agar menyambut tangan Alia.
Malam ini
Sadira tak henti-hentinya bersenandung. Senyumnya tak pernah tertinggal. Dia
menari-nari, berputar, berdansa diiringi musik klasik dari gramophone. Sementara
Alia menghabiskan waktu berdiam diri di kamarnya.
Aku tak
percaya aku dipertemukan dengannya. Namanya Anggasta Guntara. Apa yang aku
khawatirkan selama ini ternyata benar. Inikah lelaki yang bisa membahagiakannya?
Aku masih tidak habis pikir.
Alia
menulisnya di dalam diary sambil memandangi foto mereka berdua yang dia ambil
dari rumah pohon.
“Ku
peringatkan kau untuk menjauh darinya. Tempat mu disini. Bukan di luar sana.”
“Aku ingin membahagiakannya. Jangan khawatir.”
“Semua akan menjadi rumit jika dia mulai
menyadari identitas mu yang sebenarnya.”
***
Hari
Minggu pagi ini Alia dan Sadira mendapatkan pengunjung baru lagi. Lelaki paruh
baya itu ditemani seorang lelaki muda. Badannya sudah mulai bungkuk, dia
mengetuk pintu. Alia yang sedang berada di meja kasir terkejut dengan
kedatangan mereka berdua. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memberi tempat
duduk. Sadira yang sedang mengobrol dengan Burin langsung menghentikan
pembicaraannya dan mendatangi lelaki itu.
“ Aku tak
percaya kau pun terpilih kemung untuk kemari. Selamat datang!” Katanya dengan
ekspresi bahagia.
“
Bagaimana mungkin Kemung lupa dengan pencipta pertamanya.” Lelaki itu adalah
pemilik toko di Pasar Gelosadi. Dia bercerita bahwa sebuah brosur tiba-tiba
saja terbang ke arahnya. Setelah membacanya, dia langsung mencari alamat ayah
Sadira.
“Kau
membuat mimpi ku menjadi nyata. Terimakasih.” Sadira tersenyum. Mata lelaki itu
berkaca-kaca.
“Kemung
adalah ide sempurna tanpa cela. Aku tak pernah ragu membuatnya. Aku bisa
membayangkannya, maka aku yakin dapat membuatnya. Inilah mimpi mu yang terkubur
berpuluh-puluh tahun yang lalu. Aku hanya menggali itu dan membangkitkannya
kembali. Nampaknya kau terlalu sibuk mempersiapkan dirimu untuk gagal tapi lupa
untuk mengendalikan diri ketika mimpi-mimpi mu menjadi sebuah kenyataan.”
Sadira mengusap air mata Pak Harun.
“Semangat
mu seperti Ayahmu.” Ucapnya. Pak Harun dan cucunya mengelilingi Kemung. Dia terus
saja menggeleng tak percaya ketika buku-buku ‘aneh’ nya yang selama
berpuluh-puluh tahun dia simpan di dalam kardus kini dengan gagah bertengger di
atas rak buku.
Sadira
berdiri di samping Alia. Mata mereka mengikuti kemanapun Pak Harun dan cucunya
pergi. Dibiarkannya mereka bernostalgia.
Sadira membantu
Alia melayani pengunjung. Dia membuka laci kasir yang kini telah penuh dengan
uang. Dia memberikan jempolnya kepada Alia. Alia telah menambah menu makanan
dan beberapa minuman selain teh-teh Sensei. Setiap harinya pengunjung
bertambah, mereka menghabiskan waktu disini tidak sejam atau dua jam saja.
Itulah mengapa pendapatan yang didapat dari luar usaha cukup menguntungkan
mereka.
Sadira pun
menjual beberapa buku ciptaan para penulis ‘buangan’ yang diambil dari toko
buku Pak Harun di Pasar Gelosadi. Dan dia memberikan 50% hasil penjualan kepada
penulisnya. Sungguh peristiwa yang sangat emosional ketika dia mendatangi rumah
para penulis itu yang kini sudah mulai tua. Dia memberikan hasil keringat
mereka dahulu yang tak pernah mereka bayangkan ternyata membuahkan sebuah hasil
pada akhirnya. Sadira menyarankan mereka untuk kembali menulis. Karena
permintaan untuk buku-buku mereka cukup tinggi.
Tidak
sedikit pengunjung yang mengatakan bahwa buku-buku di Kedai Kemung mengubah
kehidupannya. Pa Harun bercerita bagaimana para penulisnya membuat buku itu
dengan ketulusan. Sebuah perjalanan yang panjang. Menghayati peran. Observasi
yang dalam. Perwujudan mimpi. Bukan sekedar kumpulan kata yang hanya
diperuntukkan untuk uang. Satu hal yang Sadira sadari, hati memang harus
disentuh dengan hati.
Sadira merangkul Alia tanpa aba-aba. “Bahagia
rasanya bisa merealisasikan mimpi seseorang. Bukan begitu, Al?” Alia tak siap.
Dia hanya mengangguk. Tak sadar dia menjatuhkan diary nya. Buku itu terbuka.
Sebuah foto keluar dari diary nya. Sadira memungutnya.
“Gadis kecil
ini kau ?” Alia mengangguk. “Kasian sekali Alia kecil ini. Dari kecil tak
pernah kenal orang tuanya.” Katanya sambil memandangi foto Alia. “Umur berapa
kau saat ini?” Alia menunjukkan angka tiga dengan jarinya.
Seseorang
mengetuk pintu. Tamu lagi? Sadira dan
Alia menoleh kearahnya. Sepasang suami istri berada di depan mereka. Lelakinya
berjalan dengan dibantu sebuah tongkat, sementara istrinya menggenggam beberapa
kantong plastik di tangannya. Ternyata perjalanan liburan mereka telah
berakhir. Kakek dan Nenek Pit is coming
to town.
“Wow, apa
yang aku lihat. Rumah dingin ini kini disulapnya menjadi rumah yang sangat
hangat. ” kata Kakek Pit sambil mengamati sekeliling.
“Selamat
datang.” Ucap Sadira datar. “Kemung,
kenapa kau harus memilihnya untuk datang?” gumamnya dalam hati.
“Liburan
kami sangat menyenangkan.” Kata Kakek Pit memberikan informasi dimana tak
satupun yang ingin mengetahuinya.
“Apa saja
yang sudah kalian lewati bersama? Sepertinya aku kehilangan banyak cerita. Oh
Tuhan, banyak sekali orang disini.” Sambungnya. Jika ingat bagaimana perjuangan
Sadira mencari cara untuk menghidupi mereka berdua semenjak lelaki ini dengan
tanpa rasa bersalah menitipkan sebuah ‘beban’ kepadanya, rasanya Kakek Pit lah
satu-satunya orang yang patut dipersalahkan.
“Apakabar
Alia, kau baik-baik saja bersamanya?” Alia mendekatinya. Dan mereka berpelukan.
Setelah itu Alia membawa Kakek Pit melihat-lihat rumah yang baru ini.
“Baik-baik saja bersamanya? Apa maksud kakek
tua ini? Apakah aku terlihat seperti monster bercula yang senang menelan
hidup-hidup seorang gadis bisu?” pendam Sadira kesal. Dia membuka
toples kue di depannya. “Kudapan ini
lebih lezat!” Katanya penuh emosi.
“Kau
sehat?” Tanya nenek Pit kepada Sadira. Dia yang baru menyadari bahwa ada nenek
Pit disebelahnya langsung mengangguk. Nenek Pit membawa satu keranjang
oleh-oleh untuknya. Sadira menerimanya dengan senang hati. Ketika Sadira
membongkar isi keranjang oleh-olehnya, Nenek Pit tertegun melihat foto di
dekatnya.
“Kau
dapatkan foto ini darimana?” Sadira yang sedang memenuhi mulutnya dengan kue
coklat almond segera menelannya. “Foto itu terjatuh dari diary Alia.” Katanya
sambil terus saja membuka satu persatu oleh-oleh yang nenek Pit bawa.
Nenek Pit
memandanginya. Dia menangis. “Kenapa kau menangis?” Nenek Pit langsung
menghapus air matanya. “Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya ingat gadis kecil ini
aku ambil dari Panti Asuhan ketika masih berumur 10 tahun. Kami membawanya
untuk menemani hari-hari tua kami. Yang.. yang tak pernah memiliki anak. Kami
memutuskan untuk mempekerjakannya, tapi dia sudah kuanggap sebagai anak kami sendiri.
” Sadira memandangi foto Alia kecil. “Kasihan Alia, gadis bisu yang malang. Dia
tak pernah mengetahui siapa orang tuanya.”
“Alia
memang gadis yang malang. Dia dipaksa keadaan untuk tidak boleh mengenal orang
tuanya. Dia masih kecil sekali waktu itu. Dia memiliki mata yang indah. Dia
bukan tidak mengenal orang tuanya, dia hanya tidak diperbolehkan untuk mengenal
orang tuanya. ”
Nenek Pit
memandangi Alia yang sedang menuntun Kakek Pit berjalan. Sadira menatap Nenek
Pit yang lagi-lagi meneteskan air mata.
“Apa kau
bilang?”
Pertanyaan
Sadira menyadarkan lamunan Nenek Pit. Dia langsung pergi menyusul Kakek Pit dan
Alia. Baru beberapa langkah, Nenek Pit kembali ke tempat Sadira.
“ Anggap saja
tadi aku tak mengatakan apa-apa. Oh ya, jangan pernah perlihatkan foto itu
kepada Kakek Pit. Kumohon. Jangan pernah.” Wanita tua itu kembali menyusul
Kakek Pit dan Alia. Sadira ditinggalkan Nenek Pit dengan setumpuk tanda tanya.
“Mungkin aku memang ditakdirkan untuk selalu
bertemu dengan orang-orang asing yang keberadaannya penuh misteri.” Ucap
Sadira lirih.
Mailida, Maret 2013
Comments
Post a Comment