Skip to main content

#TheBook Chapter 9




#9
Orang Asing.
“ Kenapa kau munculkan dirimu?”
“Karena dia memang menginginkannya.”
“Kau benar-benar mengambil resiko sangat besar. Kau bisa membahayakannya.”
***

Dia mengenakan sweater wol berwarna zaitun dengan syal hitam membingkai ketat lehernya. Tangan kirinya menggenggam sebuah buku yang dibatasi dengan ibu jari untuk menandai halaman terakhir yang dia baca. Kacamata baca dia tenggerkan di atas kepala. Pagi itu Kemung disapanya dengan pipi yang merona, mata bahagia, dan tawa lepas Sadira. Alia mengamatinya dari bawah rumah pohon. Semenjak pengakuan sore itu, Alia mencari tahu lelaki yang selalu Sadira ceritakan. Siapa dia? Dan darimana dia datang?
“Al, akhirnya pintu hati ini telah terbuka. Nampak seseorang telah menemukan kuncinya. Padahal aku sudah membuang kunci itu ke samudra hindia dan menanamkannya di dasar lautan. Dia pasti berusaha sangat keras untuk bisa mendapatkannya.”
Tak banyak informasi yang bisa Alia dapatkan selain cerita Sadira setiap bertemu dengan orang asing yang dia akui bernama Gasta itu. Sadira selalu menceritakannya penuh semangat dengan satu nafas. Bagaimana caranya berjalan, mengikat sepatu dengan gigi, memberikan lelucon, sarkastiknya, lagu-lagu yang dimainkan dari harmonika, berpetualang bersama, melindunginya dari bahaya, semua diutarakan sangat detail.

Aku butuh waktu untuk menerima keberadaan orang asing itu. Sampai kapan aku harus berpura-pura menerima keberadaannya? Tapi selama Sadira bahagia, aku bisa apa.
Alia.
***

Pagi ini Sadira bangun lebih awal. Dia memakai baju hangat yang tebal. Udara yang dingin membuat nafasnya mengeluarkan embun. Alia sedang bebenah. Dia memasak menu baru untuk Kemung. Sadira membantu mengiris tomat dan beberapa selada. Mereka akan membuat salad buah. Jendela dapur berada di sisi kanan berhadapan dengan pagar utama. Sadira terus saja melihat ke luar melalui jendela. “Gasta lama sekali.” Katanya dengan gusar. Alia hanya sesekali melihat ke luar. Dia membuka lemari pendingin dan mengambil beberapa buah-buahan. Sadira membantu Alia mengupas apel. Tak lama Sadira memberikan apel yang baru dikupas setengahnya kepada Alia. “Dia sudah menjemput ku, Al. Aku pergi dulu ya!” Alia mencondongkan kepalanya ke arah pagar. Dia melanjutkan kupasan apelnya. “Orang itu datang lagi.”
***

Mereka mengayuh sepeda menuju lapangan kuning di belakang rumah. Sebuah lapang luas berisi ribuan bunga matahari yang tumbuh tinggi. Gasta mengenakan topi berwarna kelabu dengan jaket biru tua kebesaran lengkap dengan sepatu olahraganya. Dia menyalip sepeda Sadira dan melambaikan tangan ke belakang.
“Bisakah kau mengalah dan membuat ku menyusul mu?” Teriak Sadira yang bercucuran keringat mengejar Gasta dari belakang.
“Bisakah kau berhenti mengeluh dan mengayuh sepeda mu dengan kaki dan bukan dengan mulut mu?” Balas Gasta sambil mempercepat kakinya memutar kayuh meninggalkan Sadira jauh.
“Bisakah kau tidak menyebalkan?” kata Sadira pelan sambil berusaha keras menaiki tanjakan. Sejauh mata memandang di kanan dan kirinya hanya ada pepohonan. Tetesan air dari hujan semalam membasahi rerumputan dan dedaunan. Gasta tak lagi terlihat, Sadira melewati jalan setapak sendirian sambil terus saja menggerutu.
Gasta sudah berada disana. Lapangan kuning dimana bunga matahari serempak mengarah ke kanan. Dia tidur-tiduran di sebuah ayunan yang terbuat dari kain yang diikat di antara dua pohon. Dia merebahkan badannya dengan tangan yang dilipat ke belakang sambil melihat pemandangan di bawah bukit.  Gedung perkantoran yang berjejer, mobil yang berseliweran, dan rumah padat penduduk yang saling berhimpitan.
“Kau!” Sadira yang kelelahan baru saja sampai. Dia memarkirkan sepedanya di sebelah sepeda Gasta. Brak! Sadira sedikit membantingnya. Dia terkejut sendiri dan segera memeriksa apakah ada yang rusak dengan sepedahnya. Gasta yang mendapati Sadira sedang berjalan cepat menuju dirinya dengan raut muka geram langsung membalikkan badannya ke arah berlawanan sambil pura-pura tertidur. “Perang dunia ke 3 dimulai.” gumamnya sambil tersenyum.
“ GASTA! AKU BERADA JAUH DI BELAKANG MU DAN KAU PERGI MENINGGALKAN KU DAN AKU TADI TERJATUH DAN KAU TIDAK MENOLONGKU DAN AKU TAKUT SENDIRIAN DI TENGAH HUTAN LEMBAB DAN KAU TAK MENDENGAR TERIAKAN KU DAN AKU KESAL.” Sadira berbicara tanpa henti. Dia mengambil nafas. Dan tak lupa membuangnya.
“Gasta?” Dia tak mendapatkan respon apa-apa.
“Hai, kau sudah datang” Gasta membalikkan badan sambil menguap. Tanpa sepengetahuannya, Sadira membalikkan ayunan hingga membuat Gasta jatuh ke tanah.
“Aku cukup pintar untuk kau bodohi dengan trik menguap mu yang sudah tersohor itu.” Katanya sambil mengangkat dagu dan mengibaskan rambut.
Gasta mencoba bangkit dan membersihkan badannya dari serpihan tanah. Dia mendekati Sadira pelan-pelan. Sadira mundur perlahan. Dengan cepat Gasta mengapit kepala Sadira dengan ketiaknya dan mengacak rambut panjangnya. Sadira meronta, dia berteriak, Gasta membungkam mulutnya, Sadira menggigitnya, Gasta menjepit hidungnya, Sadira menjambak rambutnya, Gasta mengelitikinya, Sadira tertawa.
“Dan aku cukup pintar untuk bisa menggagalkan kemarahanmu,kan?”
Pipinya memerah. Bibirnya tak sanggup menahan senyum. “Aku benci ketika kau berhasil membuat ku tertawa ketika aku sedang kesal kepada mu!”
“Aku menang.” Ucapnya dengan muka menantang.
“Hari ini saja!” balas Sadira sambil mengambil alih ayunan.
Sadira menyenderkan kepalanya ke bahu Gasta. Mereka duduk di atas ayunan sambil memandang pemandangan kota di bawahnya. Gasta memainkan harmonikanya. Sadira bernyanyi yang liriknya dia buat spontan saja.

Jika aku buku maukah kau menjadi pembatasnya?
Jika aku angin sore maukah kau menjadi senja?
Jika aku pisau tajam akankah kau pengasahnya?
Katakan ya. Aku tak ingin mendengar tidak.
Katakan ya jika tak ingin aku murka.
Jika aku jerawat dan kau komedo mungkin kita bisa bersahabat
Jika aku Emerald Pez kau harus jadi Peter Folks
Kau bilang aku tak bisa diam tapi kau yang membuatku tak diam
Kau bilang aku mengganggu tapi  kau pantas diganggu.
Maka kemarilah aku ingin bisikkan sesuatu.
Who am I, without you?

Gasta menghentikan harmonikanya. Dia memandang Sadira yang masih saja bernyanyi dan bergoyang-goyang di sebelahnya. Sadira menciptakan suara simbal dari desisannya, memukul paha nya sebagai pengganti drum, dan kadang pura-pura menyodorkan mic ke penonton. Sadira sesekali memandang Gasta sekilas sebagai afirmasi atas ke sok-asikannya. Gasta menatapnya dengan mata yang berbinar. Tangan kanannya merangkul Sadira lalu membekap mulut wanita itu. “Suara mu buruk. Tapi aku cinta padamu.”
***

Alia bolak-balik melihat jam. Seharian ini dia gelisah karena dari pagi Sadira meminta izin untuk pergi dengan lelaki itu. Satu persatu pengunjung bergantian pulang. Ini sudah sore, dan langit mulai gelap. Alia mulai membereskan kedai. Dia merapikan beberapa buku, mencuci gelas, dan memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas dengan mata yang terus saja mengarah keluar. Kemana Sadira?
“Alia, aku pulang dulu ya. Oh ya, aku tak melihat dia seharian ini. Kemana Sadira?” seorang pengunjung bertanya. Alia menjawab dengan gelengan. Kini pengunjung terakhir telah pulang.
Kini di rumah itu hanya ada dirinya. Alia membenamkan dirinya di atas kursi sambil berkeluh panjang. Entah sudah keberapa kalinya dia melihat jam. Dia bangkit dari tempatnya dan mengganti papan open di kaca menjadi close. Alia melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dia membalikkan badan, matanya mengarah pada rumah pohon. Dia memandang rumah pohon dan pagar utama bergantian memastikan bahwa Sadira belum datang. Dengan cepat Alia pergi menuju rumah pohon. Dia ingin mencari sesuatu. Dan berharap mendapatkan sesuatu. Dengan kaki gemetar, dia menaiki setiap anak tangga dengan penuh doa. Sungguh Alia harus diberi apresiasi besar atas usahanya melawan rasa takut dengan ketinggian.
Dia masuk ke dalam rumah pohon. Mengamati beberapa barang yang tak pernah dilihatnya. Karena memang inilah tempat yang jarang dia kunjungi.
Sebuah toples berisi kerikil berwarna  warni yang di dalamnya berisi sebuah kertas yang digulung menghiasi salah satu sudut meja. Alia membukanya. Ternyata sebuah surat yang pernah Ayah sadira berikan sebelum meninggal. Salah satu kalimat telah dilingkari.

Aku beritahukan sebuah rahasia: Perpisahan tak akan menyakitkan jika pertemuannya diawali ketika menutup mata.

Sebuah kalimat yang sepertinya penuh makna tapi tak dipahaminya. Alia menggulungnya kembali dan memasukkannya dengan rapi. Dia menuju tempat tidur, Alia menemukan sebuah foto perempuan tua sedang mengenakan gaun putih selutut dengan rambut yang disanggul. Wanita tua ini sedang berpelukan dengan dua anak perempuan. Foto itu terselip di bawah bantal. Dia mengambilnya, terdapat tulisan I miss you ibu dibaliknya.
  Seumur hidupnya Alia tak pernah memanggil seseorang dengan sebutan ibu. Dia menerawang sambil menghayati bagaimana rasanya merindukan seorang ibu.
Alia kembali menyusuri rumah pohon. Seburat senja yang masuk melalui celah pintu memantulkan cahaya melalui pecahan cermin ke mukanya. Pantulan itu menggiringnya pada sesuatu. Dia mendekati pecahan cermin itu. Alia  mendapati beberapa foto hasil dari kamera Polaroid berserakan di atas tumpukan koper tua. Dia memandanginya satu persatu. Memang tak ada yang kebetulan. Ucapnya dalam hati sambil memandang pecahan cermin itu.
Tiba-tiba terdengar suara bel sepeda yang dibunyikan seperti sedang bersaut-sautan. Dia ambil satu foto dan menyelipkannya ke dalam buku diary dengan tergesa-gesa.
Sadira sudah datang. Alia langsung membereskan beberapa barang yang berpindah dari tempat asalnya dan lekas turun menemui Sadira. Alia berlari dengan panik karena takut ketahuan.
“Alia, maaf aku tak membantu mu seharian ini. Tadi aku pergi berkeliling dengannya hingga lupa waktu. Oh iya, kenalkan Al, ini pacar ku yang sering aku ceritakan padamu. Anggasta Guntara.” Dia diam sejenak. Dengan canggung Alia menjabat tangannya dan tak lupa memberikan senyum ke arah samping Sadira. Sadira menyikut lengan Gasta agar menyambut tangan Alia.
Malam ini Sadira tak henti-hentinya bersenandung. Senyumnya tak pernah tertinggal. Dia menari-nari, berputar, berdansa diiringi musik klasik dari gramophone. Sementara Alia menghabiskan waktu berdiam diri di kamarnya.

Aku tak percaya aku dipertemukan dengannya. Namanya Anggasta Guntara. Apa yang aku khawatirkan selama ini ternyata benar. Inikah lelaki yang bisa membahagiakannya? Aku masih tidak habis pikir.
Alia menulisnya di dalam diary sambil memandangi foto mereka berdua yang dia ambil dari rumah pohon.

 “Ku peringatkan kau untuk menjauh darinya. Tempat mu disini. Bukan di luar sana.”
“Aku ingin membahagiakannya. Jangan khawatir.”
“Semua akan menjadi rumit jika dia mulai menyadari identitas mu yang sebenarnya.”
***

Hari Minggu pagi ini Alia dan Sadira mendapatkan pengunjung baru lagi. Lelaki paruh baya itu ditemani seorang lelaki muda. Badannya sudah mulai bungkuk, dia mengetuk pintu. Alia yang sedang berada di meja kasir terkejut dengan kedatangan mereka berdua. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memberi tempat duduk. Sadira yang sedang mengobrol dengan Burin langsung menghentikan pembicaraannya dan mendatangi lelaki itu.
“ Aku tak percaya kau pun terpilih kemung untuk kemari. Selamat datang!” Katanya dengan ekspresi bahagia.
“ Bagaimana mungkin Kemung lupa dengan pencipta pertamanya.” Lelaki itu adalah pemilik toko di Pasar Gelosadi. Dia bercerita bahwa sebuah brosur tiba-tiba saja terbang ke arahnya. Setelah membacanya, dia langsung mencari alamat ayah Sadira.
“Kau membuat mimpi ku menjadi nyata. Terimakasih.” Sadira tersenyum. Mata lelaki itu berkaca-kaca.
“Kemung adalah ide sempurna tanpa cela. Aku tak pernah ragu membuatnya. Aku bisa membayangkannya, maka aku yakin dapat membuatnya. Inilah mimpi mu yang terkubur berpuluh-puluh tahun yang lalu. Aku hanya menggali itu dan membangkitkannya kembali. Nampaknya kau terlalu sibuk mempersiapkan dirimu untuk gagal tapi lupa untuk mengendalikan diri ketika mimpi-mimpi mu menjadi sebuah kenyataan.” Sadira mengusap air mata Pak Harun.
“Semangat mu seperti Ayahmu.” Ucapnya. Pak Harun dan cucunya mengelilingi Kemung. Dia terus saja menggeleng tak percaya ketika buku-buku ‘aneh’ nya yang selama berpuluh-puluh tahun dia simpan di dalam kardus kini dengan gagah bertengger di atas rak buku.
Sadira berdiri di samping Alia. Mata mereka mengikuti kemanapun Pak Harun dan cucunya pergi. Dibiarkannya mereka bernostalgia.
Sadira membantu Alia melayani pengunjung. Dia membuka laci kasir yang kini telah penuh dengan uang. Dia memberikan jempolnya kepada Alia. Alia telah menambah menu makanan dan beberapa minuman selain teh-teh Sensei. Setiap harinya pengunjung bertambah, mereka menghabiskan waktu disini tidak sejam atau dua jam saja. Itulah mengapa pendapatan yang didapat dari luar usaha cukup menguntungkan mereka.
Sadira pun menjual beberapa buku ciptaan para penulis ‘buangan’ yang diambil dari toko buku Pak Harun di Pasar Gelosadi. Dan dia memberikan 50% hasil penjualan kepada penulisnya. Sungguh peristiwa yang sangat emosional ketika dia mendatangi rumah para penulis itu yang kini sudah mulai tua. Dia memberikan hasil keringat mereka dahulu yang tak pernah mereka bayangkan ternyata membuahkan sebuah hasil pada akhirnya. Sadira menyarankan mereka untuk kembali menulis. Karena permintaan untuk buku-buku mereka cukup tinggi.
Tidak sedikit pengunjung yang mengatakan bahwa buku-buku di Kedai Kemung mengubah kehidupannya. Pa Harun bercerita bagaimana para penulisnya membuat buku itu dengan ketulusan. Sebuah perjalanan yang panjang. Menghayati peran. Observasi yang dalam. Perwujudan mimpi. Bukan sekedar kumpulan kata yang hanya diperuntukkan untuk uang. Satu hal yang Sadira sadari, hati memang harus disentuh dengan hati.
 Sadira merangkul Alia tanpa aba-aba. “Bahagia rasanya bisa merealisasikan mimpi seseorang. Bukan begitu, Al?” Alia tak siap. Dia hanya mengangguk. Tak sadar dia menjatuhkan diary nya. Buku itu terbuka. Sebuah foto keluar dari diary nya. Sadira memungutnya.
“Gadis kecil ini kau ?” Alia mengangguk. “Kasian sekali Alia kecil ini. Dari kecil tak pernah kenal orang tuanya.” Katanya sambil memandangi foto Alia. “Umur berapa kau saat ini?” Alia menunjukkan angka tiga dengan jarinya.
Seseorang mengetuk pintu. Tamu lagi? Sadira dan Alia menoleh kearahnya. Sepasang suami istri berada di depan mereka. Lelakinya berjalan dengan dibantu sebuah tongkat, sementara istrinya menggenggam beberapa kantong plastik di tangannya. Ternyata perjalanan liburan mereka telah berakhir. Kakek dan Nenek Pit is coming to town.
“Wow, apa yang aku lihat. Rumah dingin ini kini disulapnya menjadi rumah yang sangat hangat. ” kata Kakek Pit sambil mengamati sekeliling.
“Selamat datang.” Ucap Sadira datar. “Kemung, kenapa kau harus memilihnya untuk datang?” gumamnya dalam hati.
“Liburan kami sangat menyenangkan.” Kata Kakek Pit memberikan informasi dimana tak satupun yang ingin mengetahuinya.
“Apa saja yang sudah kalian lewati bersama? Sepertinya aku kehilangan banyak cerita. Oh Tuhan, banyak sekali orang disini.” Sambungnya. Jika ingat bagaimana perjuangan Sadira mencari cara untuk menghidupi mereka berdua semenjak lelaki ini dengan tanpa rasa bersalah menitipkan sebuah ‘beban’ kepadanya, rasanya Kakek Pit lah satu-satunya orang yang patut dipersalahkan.
“Apakabar Alia, kau baik-baik saja bersamanya?” Alia mendekatinya. Dan mereka berpelukan. Setelah itu Alia membawa Kakek Pit melihat-lihat rumah yang baru ini.
“Baik-baik saja bersamanya? Apa maksud kakek tua ini? Apakah aku terlihat seperti monster bercula yang senang menelan hidup-hidup seorang gadis bisu?” pendam Sadira kesal. Dia membuka toples kue di depannya. “Kudapan ini lebih lezat!” Katanya penuh emosi.
“Kau sehat?” Tanya nenek Pit kepada Sadira. Dia yang baru menyadari bahwa ada nenek Pit disebelahnya langsung mengangguk. Nenek Pit membawa satu keranjang oleh-oleh untuknya. Sadira menerimanya dengan senang hati. Ketika Sadira membongkar isi keranjang oleh-olehnya, Nenek Pit tertegun melihat foto di dekatnya.
“Kau dapatkan foto ini darimana?” Sadira yang sedang memenuhi mulutnya dengan kue coklat almond segera menelannya. “Foto itu terjatuh dari diary Alia.” Katanya sambil terus saja membuka satu persatu oleh-oleh yang nenek Pit bawa.
Nenek Pit memandanginya. Dia menangis. “Kenapa kau menangis?” Nenek Pit langsung menghapus air matanya. “Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya ingat gadis kecil ini aku ambil dari Panti Asuhan ketika masih berumur 10 tahun. Kami membawanya untuk menemani hari-hari tua kami. Yang.. yang tak pernah memiliki anak. Kami memutuskan untuk mempekerjakannya, tapi dia sudah kuanggap sebagai anak kami sendiri. ” Sadira memandangi foto Alia kecil. “Kasihan Alia, gadis bisu yang malang. Dia tak pernah mengetahui siapa orang tuanya.”
“Alia memang gadis yang malang. Dia dipaksa keadaan untuk tidak boleh mengenal orang tuanya. Dia masih kecil sekali waktu itu. Dia memiliki mata yang indah. Dia bukan tidak mengenal orang tuanya, dia hanya tidak diperbolehkan untuk mengenal orang tuanya. ”
Nenek Pit memandangi Alia yang sedang menuntun Kakek Pit berjalan. Sadira menatap Nenek Pit yang lagi-lagi meneteskan air mata.
“Apa kau bilang?”
Pertanyaan Sadira menyadarkan lamunan Nenek Pit. Dia langsung pergi menyusul Kakek Pit dan Alia. Baru beberapa langkah, Nenek Pit kembali ke tempat Sadira.
“ Anggap saja tadi aku tak mengatakan apa-apa. Oh ya, jangan pernah perlihatkan foto itu kepada Kakek Pit. Kumohon. Jangan pernah.” Wanita tua itu kembali menyusul Kakek Pit dan Alia. Sadira ditinggalkan Nenek Pit dengan setumpuk tanda tanya.
“Mungkin aku memang ditakdirkan untuk selalu bertemu dengan orang-orang asing yang keberadaannya penuh misteri.” Ucap Sadira lirih.

Mailida, Maret 2013

Comments

Popular posts from this blog

Mengatur Belanja Seminggu

Selama saya menikah, pengeluaran yang gak kekontrol itu pengeluaran makan. Awalnya, sebelum bikin meal preparation setiap minggunya, yang saya lakukan adalah belanja ke pasar setiap hari pulang kantor ((( setiap hari )))).  Dan itu boros banget. Mana sisa makanan pada kebuang karena busuk. Belum lagi sayur yang gampang layu dan gak bisa diolah. Yah.....namanya juga learning by doing ya. Akhirnya saya nemu cara belanja yang jauh lebih efektif, efisien, dan ekonomis. Namanya meal preparation . Dilakukan seminggu sekali dan disimpan dengan baik ke dalam storage box. Sekarang jadwal wajib saya setiap minggu pagi adalah ke pasar tradisional atau pasar modern diantar abang. Beli sayur dan lauk untuk keperluan seminggu ke depan. Dan tau gak sih, ternyata kalau kita well planned, pengeluaran makanan bisa sangat efisien. Manfaat yang saya dapet itu,  Bahan makanan pas habis dalam seminggu hampir tanpa sisa yang kebuang Hemat waktu dan hemat energi Pengeluaran makan gak boros Lebih

Pesan Moral Manusia ½ salmon

Beberapa menit yang lalu saya baru aja selesai baca buku nya raditya dika yang baru yang judulnya manusia setengah salmon. Awalnya agak sinis ama isi buku ini. Saya pikir, “Ah paling buku humor guyonan biasa aja. Ala raditya dika aja lah gimana. Lumayan lah buat cekakak cekikik. Itung-itung hiburan.” Saya pun sempet nyesel sebelum membaca buku itu secara keseluruhan. Tau gitu beli buku lain yang lebih bermutu. Yang lebih berat. Yang kontennya ‘lebih pintar’. Pikir saya. Ibu saya pun sempet nanya pas saya mau bayar ke kasir. “ Jadinya beli buku itu? Ngasih manfaat gak?” Di dalem hati saya menjawab. Let me see. Setelah beberapa hari buku itu terbengkalai, akhirnya saya baca juga ampe selesai. Emang sih banyak banget cerita yang bikin saya cekakak cekikik ampe ketawa-ketawa sendiri. Ok, it’s so raditya dika. Saya gak kaget. Hingga akhirnya saya berada di chapter terakhir buku ini. Chapter yang bikin saya mengemukakan pertanyaan monolog di otak saya. Is that you, raditya dika

Bahagia & Dian Sastrowardoyo

Apa itu bahagia? Semua orang menginginkannya. Hari ini saya mendapatkan sebuah pelajaran lagi tentang apa itu bahagia. *** Sebuah wawancara, Hitam Putih – Dian Sastrowardoyo “ Aku itu ambisius banget. Aku itu banyak mau. Tapi ternyata aku baru sadar dunia ini lebih enteng kalau kita gak terlalu ambisius-ambisius amat. Karena I have everything that I want to ternyata.” Waktu hamil, karirnya sedang berada di puncak. Awalnya agak menyalahkan kehamilan ini, tapi setelah syaelendra lahir dia bahagia sekali. Jika dirunut kebelakang, Dian adalah seorang yang ambisius dari kecil. Menurutnya, definisi ambisius adalah focus dan determine banget untuk mencapai apa yang dia mau. Dari umur 10 tahun dia sudah ingin sekolah di luar negeri more than anything in the world. Di umur segitu dia melakukan riset bagaimana caranya mendapatkan uang banyak agar bisa membiayai sekolahnya di luar negeri. Ternyata menjadi artis adalah salah satu cara untuk mendapatkan uang banyak karena ibunya