Skip to main content

#TheBook Chapter 8



#8 Dan cerita (baru saja) dimulai


Orang asing itu mengaduk teh dengan tangannya. Dia berambut klimis dengan kemeja muscle rapih. Tekstur mukanya tegas. Alisnya tebal di atas kulit berwarna gelap. Ada tattoo elang kecil di telinga bawahnya. Lelaki ini mengusap-usap jambang tipisnya. Lama mereka hanya saling menatap tanpa bicara. Harus ada seseorang yang mulai memecah keheningan.
“ Dru, aku tidak mengharapkan kedatangan mu!” Sadira melakukannya.
“Aku pernah berjanji untuk menyakitimu. Aku hanya ingin menepati janji.” Dru menyilangkan kaki sambil memperhatikan sekelilingnya. “Rumah ini sudah jauh berubah ya?”
Sadira menggeleng. Dia mendekati Dru dengan kaki gemetar. Matanya mengarah kepada cangkir teh di atas meja. Sadira mendekatkan mulutnya ke telinga Dru. Diam-diam tangannya meraih cangkir teh di atas meja. “Aku pun telah berubah.”  Bisiknya. Lalu Sadira melemparkan cangkir teh tersebut ke lantai tanda berontak. Alia dan Dru terhenyak.
Sadira mengatur napasnya. Dia tak percaya apa yang sudah dilakukannya. Dru menatapnya datar.
“ Kau telah berubah. Aku takut sekali. Sangat takut. ” Katanya sarkastik. Dru memungut satu persatu pecahan dari cangkir tersebut. Dia mendekati Sadira dengan tangan kiri yang disembunyikan di belakang. Alia yang berada di belakang Dru memberi kode tanda bahaya. Dia mencoba menahan Dru, tapi Sadira melarangnya.
“ Apa yang kau lakukan tadi memberiku ide untuk mencabik kulit mu yang halus dengan pecahan ini.” Dru mengarahkan pecahan kaca di tangan kirinya kepada Sadira. Alia mempercepat langkahnya. Sadira menggeleng kepada Alia.
“Biar aku saja yang hadapi. Pergi jauh, Alia!” Alia tak menggubrisnya. Dru menoleh ke belakang.
“Hey, aku lupa menanyakan kepada mu siapa gadis kecil ini.” Dru mendekatinya. “ Aku tidak akan membiarkan mu menyentuhnya.” Bentak Sadira.
Alia ketakutan. Nafasnya berat. Dru semakin mendekat. Dia mengelus pipi Alia. Senyumnya mengerikan. Diam-diam Sadira mengambil batang kayu di dekatnya. Dia berjalan pelan menuju Dru. Pantulan Sadira yang sedang mengendap diketahui Dru dari kaca. “Jika kau memukul ku, aku akan menghabisinya” ancam Dru. Sadira menghentikan langkahnya. Alia mengerang ketika Dru menyentuhkan tangan ke lehernya. “Sadira, sepertinya aku akan cukup menyakitimu jika menyakitinya. Betul bukan?” Tanya Dru dengan tangan yang masih mencengkram leher Alia.
Sadira menangis hingga tersungkur ke lantai. “Apa yang terjadi di masa lalu, biarlah berada di masa lalu. Kumohon Dru.” Sadira mengharap iba. Dru tertawa terbahak-bahak. “ Ibu mu bodoh. Kau bodoh. Kalian memang keluarga bodoh. Mudah sekali mereka memberikan alamat mu. Sebenarnya aku benci kota ini. Tempat ini menyakitkan. Mengingatkan ku pada masa kecil yang buruk. Tapi sehari tidak menyakitimu ternyata lebih menyakitkan.” Ucap Dru sambil mengedipkan mata kepada Sadira.
Petir menyambar. Langit mulai mendung. Hujan turun perlahan. Suasana semakin mencekam. “Kau gila. Kau bukan manusia!” Dru yang sedang asik memainkan rambut Alia langsung mendekati Sadira. “Aku memang bukan manusia. Aku adalah dewa maut mu.”
Alia mencoba melarikan diri, tapi Dru sedetik lebih cepat. Dia menarik tangan Alia yang mencoba kabur. Dru mencekik lehernya.
“Sekarang kau pasti menyesal karena pernah berkenalan dengan wanita bodoh itu.” Alia menggeleng. Dia mencoba melepaskan tangan Dru tapi genggamannya terlalu kuat. Alia hampir kehabisan napas. Dia meneteskan air mata. Dru menatap dalam mata Alia. Dia melonggarkan genggamannya dan terdiam seketika.
“Ibu, kumohon jangan siksa aku.”
Wanita berperawakan besar itu menendang lelaki kecil berusia 12 tahun di depannya. “Pencuri kecil! Aku sudah bilang kau tidak ku izinkan untuk memakan makanan ku.” Wanita bengis itu menamparnya di halaman depan rumah.”Hari ini kau tidur di luar!” Lelaki kecil itu meringis kesakitan. “Aku hanya lapar..” katanya sambil menangis.
Wanita itu melayangkan sebuah tongkat ke kepala lelaki kecil itu. Sebelum tongkat itu sampai di kepalanya, sebuah batu kecil terlempar dari semak-semak. Dia berteriak kesakitan.
“Aw! Siapa itu?” Wanita itu berlari ke dalam semak-semak. Dia keluar dari pagar rumah mencari seseorang yang melemparkan batu ke kepalanya. Sesosok gadis kecil berkulit putih dengan rambut sebahu yang dikuncir dua berlari kearah berlawanan. Lelaki kecil itu mendapatinya keluar dari semak-semak. Dia mengejar dan menahannya. Gadis kecil itu membalikkan badan sambil tersenyum. Dia menepuk pundak kirinya menggunakan tangan kanan. Sebuah bahasa isyarat yang artinya pertolongan.
Dru melepaskan genggamannya. Dia menatap Alia datar sambil berbisik pelan. “Terimakasih telah menyelamatkan ku dulu.”  Alia terbatuk-batuk dan mencoba untuk bernapas. Dru pergi tanpa pamit dan meninggalkan mereka berdua yang saling berpelukan.
“Kau tidak apa-apa? Apa yang tadi dia katakan?” Alia menatap punggung Dru yang sudah berjalan jauh. Dia menggeleng.
***
Umurnya masih 10 tahun ketika dia datang untuk dipekerjakan di rumah Kakek Pit. Alia diambil dari Panti Asuhan Seruni. Dru, Sadira, dan Kakek Pit memiliki rumah yang berdekatan. Namun Sadira meninggalkan kota ini menuju Yogyakarta ketika berumur 6 tahun. Sementara Dru meninggalkan kota ini 7 tahun setelah Sadira pergi ketika Ibu tirinya meninggal dunia karena serangan jantung. Dia dibawa oleh saudara ayahnya menuju Yogyakarta pada usia 13 tahun. Alia kecil tak pernah bertemu dengan Sadira kecil. Alia kecil mengenal Dru kecil. Sadira besar pernah menceritakan tentang kisah Dru kecil kepada Alia besar. Alia besar tak mengira bahwa Dru kecil yang Sadira besar pernah ceritakan adalah Dru kecil yang sama yang dia kenal dahulu.
 Ini sudah hampir seminggu sejak kedatangan Dru. Hari-hari Sadira dipenuhi dengan kegelisahan atas bayangan jika dia datang kembali.
“ Dia akan membahayakan kita. Semoga dia tidak datang kembali.”
Dia tak akan menyakiti kita lagi. Tulisnya di atas buku diari berbahan kulit berwarna hitam.
“Kau yakin, Alia?”
Alia mengangguk yakin.
“ Apa yang membuat kau sangat yakin?” Sadira menatapnya dengan tatapan menyelidik. Alia mengangkat bahu. Sadira mengernyitkan dahi. “Ada hubungan apa antara kau dengannya?” Alia menggeleng cepat. Sadira meninggalkannya ke ruang baca sambil sesekali melihat Alia yang sedang menuliskan sesuatu di diari nya.
Alia duduk di sofa merah dekat tempat kasir. Seharian ini dia hanya menulis sambil sesekali termenung sendiri. Dia tidak menyadari bahwa Sadira sedang mengamatinya dari ruang baca.
Anak laki-laki itu bernama Dru. Akhirnya aku mengetahui namanya setelah sekian lama hanya bisa mengamati nya dari jendela kamar ku. Wahai Pengejar Capung yang selalu terlihat sendiri, tidak ada yang lebih buruk daripada pertemuan seperti beberapa minggu yang lalu. Sadira benar, kau telah berubah.
Alia.
***
Hari ini adalah hari pertama mereka membuka kedai kemung. Belum ada satu orang pun yang datang. Sadira bilang, biarkan semesta yang membawa mereka kemari tanpa dipaksa. If it mean to be, they will find the way to come in. Berapa hari yang lalu mereka menyebarkan beberapa brosur yang mereka tulis dengan tangan ke beberapa tempat.
Salam kenal, kamu yang sedang membaca brosur ini dengan perasaan yang mungkin sedang kalut atau bahagia. Perkenalkan nama ku Kemung.
Aku adalah sebuat tempat yang berada di sebuah tempat yang tidak banyak keramaian, sunyi, dan menenangkan. Tidak ada mobil berseliweran, tidak ada debu polusi, tidak ada perkumpulan kaum urban yang berdandan kekinian, tidak ada kemewahan. Sederhana.
Rumah tingkat dua dengan halaman yang cukup luas ini dikelilingi banyak sekali tanaman bunga dan rumput hijau. Hanya pagar kayu dengan daun yang merambat lah yang melindungi rumah ini. Tak ada barang-barang mahal, namun banyak kenangan yang tidak bisa dibayar dengan uang.
Suara burung yang berkicau, kepakan sayap capung dan kupu-kupu, serta gemericik air hujan, kau bisa merasakannya disini. Sebuah tempat dimana kamu bisa membiarkan khayalan mu meliar. Yang kau lakukan hanya tinggal berdiam diri, men-charge energi, duduk, membaca buku, mendengarkan lantunan lagu lama dari gramophone ku, merasakan angin yang meniup, dan menghangatkan badan mu dengan satu cangkir teh hangat yang rasanya bisa kau pilih sendiri.
Kemung singkatan dari Kecil dan Mungil. Rumah tua ini disulapnya menjadi sebuah kedai buku yang sangat nyaman. Walaupun berukuran kecil, namun halaman disekitarnya cukup besar. Kedai buku kemung terdiri dari tiga bagian. Kebun angan, rumah pohon, dan galeri baca.
Kebun Angan
Sebuah halaman di belakang rumah yang di batasi oleh pagar kayu dengan tinggi kurang dari satu meter. Diantara pintu masuk tersebut terdapat plang bertuliskan kebun angan. Disini pengunjung bisa membaca buku atau sekedar minum-minum teh diatas karpet piknik yang disewakan. Inilah tempat dimana para pelamun menghabiskan waktunya untuk menghayal.
Rumah Pohon
Sebuah rumah pohon di halaman belakang dimana terdapat bantal empuk dan karpet tebal yang membuat siapapun bisa tiduran sepanjang siang di atas sana. Akan banyak sekali rantai-rantai yang menjulur di dalamnya. Jangan heran jika kau menemukan banyak serpihan kayu disana. Kau bisa menemukan buku-buku dongeng anak di dalam koper yang aku tumpuk sebagai meja. Jika malam datang, lampu-lampu natal dan lampion diatas rumah pohon tersebut akan dinyalakan dan kunang-kunang akan menemanimu disana.
Galeri Baca
Tempat ini ada di dalam rumah. Kau akan menemukan banyak buku yang tak akan pernah kau temukan di toko buku manapun. Setiap buku yang kau baca akan membawa mu jauh menuju pulau imaji yang jaraknya ribuan mil. Yang akan membawa mu berkelana dengan beberapa teman baru. Buku itu akan membuat mu selalu merasa kehilangan setiap selesai membacanya.
Cari aku, temukan aku, kutunggu kau disini.
Kemung.
Alia mondar-mandir menunggu pengunjung yang tak juga datang. Dia menyangsikan brosur tanpa alamat yang Sadira buat. Bagaimana mungkin orang akan datang? Kenapa Sadira memperumit sesuatu yang seharusnya menjadi sederhana saja? Alia mencari keberadaan Sadira yang sekarang sedang asik membaca buku di rumah pohon belakang. Alia berjalan keluar pagar, dia tak melihat ada tanda-tanda manusia datang. Alia mulai gelisah.
“Sudahlah, Alia. Tenang saja. Aku tau apa yang aku lakukan.” Katanya masih asik membaca buku dongeng anak-anak yang pernah menjadi favoritnya dahulu. Alia memutar matanya. “Aku hanya ingin membuat mereka sedikit berpetualang mencari tempat ini.” Ujarnya dari atas rumah pohon dengan sedikit berteriak.
“Aliaaaa, tangkap!” Sadira melemparkan sebuah buku berjudul Simba Has A Wish ke arah Alia. Alia memungutnya. “Sekarang naiklah ke atas dan berikan buku itu kepada ku!” perintah Sadira. Alia berjalan menjauh. “Ayolah Alia, ketakutan mu akan ketinggian hanya merugikan dirimu sendiri. Lihatlah apa yang aku lihat dari sini. Lautan awan luas yang indaaah sekali. Gedung-gedung itu hanya terlihat beberapa centi dari sini. Kau tau Alia, kata Ayah udara yang berada di ketinggian di atas 100 meter dari tanah adalah udara perawan. Udara yang belum pernah dijamah oleh siapapun. Segaaaar. Kau tak tertarik?” Alia menutup telinganya. Pelan-pelan Sadira menuruni tangga kayu rumah pohonnya dan menarik Alia menuju ke atas dengan paksa dan penuh perjuangan.
“ Sekarang buka mata mu.” Alia membukanya perlahan. Mukanya pucat memandang betapa jauhnya dia dengan tanah. Alia menggenggam kayu penopang dengan sangat kuat. Mereka berdua duduk di ujung rumah pohon dengan kaki yang menjulur ke bawah.
“ Disinilah aku akan menghabiskan waktu ku” Alia memandang Sadira yang sedang memejamkan mata dengan bibir yang tersungging. Sambil sesekali menggoyang-goyangkan kakinya. Alia mengangkat kakinya perlahan. Dia memundurkan posisi duduknya lebih ke dalam. Menyender pada tembok kayu rumah pohon dan kembali menulis.
Sesederhana inikah bahagia untuk nya?
***
Seorang lelaki mengetuk pintu. Tangan kirinya menggenggam sebuah kertas. Sesekali dia membaca kembali kertas itu dan mencocokkannya dengan papan bertuliskan kemung yang dia temukan di depan. Dia menggunakan kaos putih yang basah karena keringat. Tas ransel lusuh bertengger di pundaknya. Dia menggoyangkan lonceng kecil di atas pintu. Tak ada yang datang. Lelaki ini masuk ke dalam dengan berhati-hati. Matanya tak berkedip memandangi segala hal yang dia temui. Dia mengambil sebuah buku dari rak dan membacanya sekilas.
“Mungkin ini yang mereka namai dengan galeri baca.” Desisnya.
Apa yang dia lihat di halaman belakang ternyata lebih mengalihkan perhatiannya. Dia menuju kebun bunga yang dikelilingi sebuah pagar kayu yang tidak lebih dari pinggangnya. Pagar itu dia buka perlahan. Disana ada beberapa karpet yang telah di hamparkan dengan beberapa kelinci yang sedang berlarian. Dia tak bisa berhenti mengagumi tempat ini.
“ Oh Tuhan, hari-hari ku akan menyenangkan disini. Akhirnya aku menemukan rumah ku.”
Sadira melihat lelaki berkaos putih dari atas rumah pohon sedang berjalan-jalan di dalam kebun angan. Dia mengamati setiap gerak-geriknya. Lelaki itu menelentangkan tangannya sambil tidur-tiduran di atas rumput. Sadira menyenggol Alia yang masih menulis.
“Lihat dia” katanya menunjuk pada laki-laki itu. “Pelanggan pertama kita. Manusia pilihan semesta. Kemung telah memilihnya.” Ucapnya sambil menghela napas panjang. “Apa aku bilang, semua akan berhasil” katanya sambil menatap Alia yang juga sedang menatapnya dengan pandangan tak percaya.
***
 “Selamat datang.” Sadira menyapanya. Lelaki itu terperanjat. Dia bangun dari tidurnya. “Siapa kalian?” tanyanya. Sadira menjulurkan tangan. “Kau bisa panggil aku Sadira. Ini Alia. Kami pemilik Kemung.” Lelaki itu membersihkan tangannya. Dia menyambut hangat perkenalan yang ditawarkan Sadira
“ Burin. Nama ku Burin.” Katanya singkat dengan suara dalam.  “Genius. Tempat ini genius. Aku menemukan selebaran ini di pinggir jalan dekat kampus ku. Entah apa yang membuat aku terdorong untuk suatu hari nanti ingin mencarinya. Sebelum aku benar-benar mencarinya, kebetulan aku ke daerah sini untuk bertemu dengan teman ku. Tapi entah apa yang membuat aku tersesat. Tiba-tiba saja aku menemukan rumah ini dan mengingat brosur itu.” Katanya sambil memperlihatkan brosur yang pernah Sadira dan Alia sebarkan.
Alia menggeleng masih tak percaya. Sadira mengambil brosur di tangan lelaki itu. “ Burin, tak pernah ada yang namanya kebetulan. Semua ini takdir. Kemung telah memilihmu.”
Burin mengangguk, isyarat setuju. “Kau tau? Aku menghabiskan waktu beberapa tahun terakhir ini untuk mendefiniskan kembali arti sebuah rumah. I think home is where the heart is. But my heart is no longer in my parent’s house. I guess, Kemung is. Is this love at first sight?”
Sadira menepuk bahu Burin. “ Congratulation. Kemung takes you in.”
***
Sadira mengajak Burin berputar-putar. Menjelaskan beberapa hal yang ada disini. Mereka asik bercerita seperti sahabat lama. Alia mengantarkan teh susu yang Burin telah pilih.
“Sekarang, Apa arti teh yang aku pilih?” Burin bertanya kepada Sadira sambil menyeruput teh nya yang masih panas.
“ Kau sedang merindukan keluarga.” Burin yang sedang meniup tehnya langsung terdiam.
“Aku masih tak percaya bahwa filosofi teh yang tadi kau jelaskan itu benar. Teh itu benar-benar bisa menebak apa yang aku rasakan.” Burin menggeleng kagum sambil kembali menikmati teh nya.
***
Manusia-manusia pilihan kemung mulai berdatangan setiap harinya. Entah berasal darimana, bagaimana mereka menemukan tempat ini, apa yang membuatnya tergerak untuk kemari, semuanya adalah misteri sebuah kebetulan. Mungkin inilah cara Tuhan mengatur sebuah rezeki. Apa yang akan menjadi milikmu, akan menjadi milikmu. Apa yang tidak menjadi milikmu, tidak akan menjadi milikmu.
Rumah ini tak lagi dihuni dua orang. Keadaanya memang tidak terlalu ramai, tapi tidak sepi. Mereka bertemu beberapa orang baru dengan latar belakang kehidupan yang tak biasa. Percaya atau tidak, kemung seperti menyeleksi siapa saja yang diperkenankan untuk mengunjunginya.
***
Sadira menyepi ke rumah pohonnya. Mengamati dari atas apa yang dilihatnya di bawah. Seorang gadis muda oriental sedang mencatat sesuatu dari apa yang dia baca. Beberapa buku berserakan di sekitarnya. Gadis oriental itu terlihat menulis sesuatu di atas kertas, lalu merobeknya, menggulungnya bulat-bulat, lalu menulis kembali, merobeknya kembali, dan menggulungnya bulat-bulat. Perfeksionis. 
Dia tak sadar bahwa Roti gandumnya mulai digerogoti oleh kelinci yang dibiarkan berkeliaran bebas di kebun angan. Cici, namanya.
Sadira mengamati Alia yang keletihan. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mengantarkan setiap pesanan sendirian. Jika waktu sedang luang, dia duduk di atas ayunan sambil kembali menulis di buku diarynya. Si bisu yang selalu berbicara dengan benda bisu.
Burin tertidur di atas kursi. Sadira bisa melihatnya melalui jendela. Tak pernah dia melewati hari tanpa kemari. Sadira membuka tokonya jam 10 pagi, dan menutupnya jam 9 malam. Burin datang jam 10 kurang lima dan pulang jam 9 lebih lima. Dia memang menjadikan kemung rumahnya. Burin, sang loyalis kemung.
Sadira merasa hari ini energinya terkuras habis, dia menarik diri untuk mengisinya kembali. Sadira masuk ke dalam rumah pohon untuk mengambil buku-buku bacaan miliknya sewaktu kecil. Ketika Sadira keluar, dia mendapati seorang laki-laki sedang duduk di tempatnya. Lelaki itu bersenandung dengan siulannya. Dia mengeluarkan harmonica dari saku dan langsung memainkan sebuah nada. Sadira masih berdiri di belakangnya. Dia berdeham. Lelaki itu tak menggubrisnya. Dia kembali berdeham lebih keras. Suara harmonikanya menenggelamkan suara Sadira. Kini dia pura-pura menjatuhkan bukunya. Lelaki itu menoleh kebelakang.
“Maaf kupikir tak ada orang.” Lelaki dengan mata coklat dan janggut tipis di depannya tiba-tiba membius Sadira.
“ Oh. Euh. Hmm.” Sadira terlihat canggung. Dia mencoba mengendalikan kekakuannya.
“ Siapa yang menyuruh mu untuk naik kemari?” Lelaki itu menyerahkan brosur Kemung. “Bukankah tempat ini salah satu bagian dari Kemung?” Sadira kebingungan untuk menjawab pertanyaanya. “Iya, tapi, tapi aku berubah pikiran. Aku tidak mau berbagi tempat ini. Ini markas ku.“ Lelaki itu tertawa. Menyejukkan. Dunia Sadira berhenti beberapa detik. Senyumnya tertangkap oleh lensa mata dan masuk kedalam benaknya. Tawanya membuat kupu-kupu menari dalam perutnya. Nafasnya mulai tak beraturan.
“Heh. Siapa namamu?” Tanya Sadira dengan tidak ramah.
“Gasta. Anggasta Guntara.” Jawabnya singkat sambil kembali memainkan harmonika.
Mailida, Maret 2013

Comments

Popular posts from this blog

Mengatur Belanja Seminggu

Selama saya menikah, pengeluaran yang gak kekontrol itu pengeluaran makan. Awalnya, sebelum bikin meal preparation setiap minggunya, yang saya lakukan adalah belanja ke pasar setiap hari pulang kantor ((( setiap hari )))).  Dan itu boros banget. Mana sisa makanan pada kebuang karena busuk. Belum lagi sayur yang gampang layu dan gak bisa diolah. Yah.....namanya juga learning by doing ya. Akhirnya saya nemu cara belanja yang jauh lebih efektif, efisien, dan ekonomis. Namanya meal preparation . Dilakukan seminggu sekali dan disimpan dengan baik ke dalam storage box. Sekarang jadwal wajib saya setiap minggu pagi adalah ke pasar tradisional atau pasar modern diantar abang. Beli sayur dan lauk untuk keperluan seminggu ke depan. Dan tau gak sih, ternyata kalau kita well planned, pengeluaran makanan bisa sangat efisien. Manfaat yang saya dapet itu,  Bahan makanan pas habis dalam seminggu hampir tanpa sisa yang kebuang Hemat waktu dan hemat energi Pengeluaran makan gak boros Lebih

Pesan Moral Manusia ½ salmon

Beberapa menit yang lalu saya baru aja selesai baca buku nya raditya dika yang baru yang judulnya manusia setengah salmon. Awalnya agak sinis ama isi buku ini. Saya pikir, “Ah paling buku humor guyonan biasa aja. Ala raditya dika aja lah gimana. Lumayan lah buat cekakak cekikik. Itung-itung hiburan.” Saya pun sempet nyesel sebelum membaca buku itu secara keseluruhan. Tau gitu beli buku lain yang lebih bermutu. Yang lebih berat. Yang kontennya ‘lebih pintar’. Pikir saya. Ibu saya pun sempet nanya pas saya mau bayar ke kasir. “ Jadinya beli buku itu? Ngasih manfaat gak?” Di dalem hati saya menjawab. Let me see. Setelah beberapa hari buku itu terbengkalai, akhirnya saya baca juga ampe selesai. Emang sih banyak banget cerita yang bikin saya cekakak cekikik ampe ketawa-ketawa sendiri. Ok, it’s so raditya dika. Saya gak kaget. Hingga akhirnya saya berada di chapter terakhir buku ini. Chapter yang bikin saya mengemukakan pertanyaan monolog di otak saya. Is that you, raditya dika

Bahagia & Dian Sastrowardoyo

Apa itu bahagia? Semua orang menginginkannya. Hari ini saya mendapatkan sebuah pelajaran lagi tentang apa itu bahagia. *** Sebuah wawancara, Hitam Putih – Dian Sastrowardoyo “ Aku itu ambisius banget. Aku itu banyak mau. Tapi ternyata aku baru sadar dunia ini lebih enteng kalau kita gak terlalu ambisius-ambisius amat. Karena I have everything that I want to ternyata.” Waktu hamil, karirnya sedang berada di puncak. Awalnya agak menyalahkan kehamilan ini, tapi setelah syaelendra lahir dia bahagia sekali. Jika dirunut kebelakang, Dian adalah seorang yang ambisius dari kecil. Menurutnya, definisi ambisius adalah focus dan determine banget untuk mencapai apa yang dia mau. Dari umur 10 tahun dia sudah ingin sekolah di luar negeri more than anything in the world. Di umur segitu dia melakukan riset bagaimana caranya mendapatkan uang banyak agar bisa membiayai sekolahnya di luar negeri. Ternyata menjadi artis adalah salah satu cara untuk mendapatkan uang banyak karena ibunya