#8 Dan cerita (baru saja) dimulai
Orang
asing itu mengaduk teh dengan tangannya. Dia berambut klimis dengan kemeja muscle
rapih. Tekstur mukanya tegas. Alisnya tebal di atas kulit berwarna gelap. Ada
tattoo elang kecil di telinga bawahnya. Lelaki ini mengusap-usap jambang
tipisnya. Lama mereka hanya saling menatap tanpa bicara. Harus ada seseorang
yang mulai memecah keheningan.
“ Dru, aku
tidak mengharapkan kedatangan mu!” Sadira melakukannya.
“Aku
pernah berjanji untuk menyakitimu. Aku hanya ingin menepati janji.” Dru menyilangkan kaki sambil
memperhatikan sekelilingnya. “Rumah ini sudah jauh berubah ya?”
Sadira
menggeleng. Dia mendekati Dru dengan kaki gemetar. Matanya mengarah kepada
cangkir teh di atas meja. Sadira mendekatkan mulutnya ke telinga Dru. Diam-diam
tangannya meraih cangkir teh di atas meja. “Aku pun telah berubah.” Bisiknya. Lalu Sadira melemparkan cangkir teh
tersebut ke lantai tanda berontak. Alia dan Dru terhenyak.
Sadira
mengatur napasnya. Dia tak percaya apa yang sudah dilakukannya. Dru menatapnya
datar.
“ Kau
telah berubah. Aku takut sekali. Sangat takut. ” Katanya sarkastik. Dru
memungut satu persatu pecahan dari cangkir tersebut. Dia mendekati Sadira dengan
tangan kiri yang disembunyikan di belakang. Alia yang berada di belakang Dru memberi
kode tanda bahaya. Dia mencoba menahan Dru, tapi Sadira melarangnya.
“ Apa yang
kau lakukan tadi memberiku ide untuk mencabik kulit mu yang halus dengan
pecahan ini.” Dru mengarahkan pecahan kaca di tangan kirinya kepada Sadira.
Alia mempercepat langkahnya. Sadira menggeleng kepada Alia.
“Biar aku
saja yang hadapi. Pergi jauh, Alia!” Alia tak menggubrisnya. Dru menoleh ke
belakang.
“Hey, aku
lupa menanyakan kepada mu siapa gadis kecil ini.” Dru mendekatinya. “ Aku tidak
akan membiarkan mu menyentuhnya.” Bentak Sadira.
Alia
ketakutan. Nafasnya berat. Dru semakin mendekat. Dia mengelus pipi Alia.
Senyumnya mengerikan. Diam-diam Sadira mengambil batang kayu di dekatnya. Dia
berjalan pelan menuju Dru. Pantulan Sadira yang sedang mengendap diketahui Dru
dari kaca. “Jika kau memukul ku, aku akan menghabisinya” ancam Dru. Sadira
menghentikan langkahnya. Alia mengerang ketika Dru menyentuhkan tangan ke
lehernya. “Sadira, sepertinya aku akan cukup menyakitimu jika menyakitinya.
Betul bukan?” Tanya Dru dengan tangan yang masih mencengkram leher Alia.
Sadira menangis
hingga tersungkur ke lantai. “Apa yang terjadi di masa lalu, biarlah berada di
masa lalu. Kumohon Dru.” Sadira mengharap iba. Dru tertawa terbahak-bahak. “
Ibu mu bodoh. Kau bodoh. Kalian memang keluarga bodoh. Mudah sekali mereka
memberikan alamat mu. Sebenarnya aku benci kota ini. Tempat ini menyakitkan.
Mengingatkan ku pada masa kecil yang buruk. Tapi sehari tidak menyakitimu
ternyata lebih menyakitkan.” Ucap Dru sambil mengedipkan mata kepada Sadira.
Petir
menyambar. Langit mulai mendung. Hujan turun perlahan. Suasana semakin
mencekam. “Kau gila. Kau bukan manusia!” Dru yang sedang asik memainkan rambut
Alia langsung mendekati Sadira. “Aku memang bukan manusia. Aku adalah dewa maut
mu.”
Alia
mencoba melarikan diri, tapi Dru sedetik lebih cepat. Dia menarik tangan Alia
yang mencoba kabur. Dru mencekik lehernya.
“Sekarang
kau pasti menyesal karena pernah berkenalan dengan wanita bodoh itu.” Alia
menggeleng. Dia mencoba melepaskan tangan Dru tapi genggamannya terlalu kuat.
Alia hampir kehabisan napas. Dia meneteskan air mata. Dru menatap dalam mata
Alia. Dia melonggarkan genggamannya dan terdiam seketika.
“Ibu, kumohon jangan siksa aku.”
Wanita berperawakan besar itu menendang lelaki
kecil berusia 12 tahun di depannya. “Pencuri kecil! Aku sudah bilang kau tidak
ku izinkan untuk memakan makanan ku.” Wanita bengis itu menamparnya di halaman
depan rumah.”Hari ini kau tidur di luar!” Lelaki kecil itu meringis kesakitan.
“Aku hanya lapar..” katanya sambil menangis.
Wanita itu melayangkan sebuah tongkat ke
kepala lelaki kecil itu. Sebelum tongkat itu sampai di kepalanya, sebuah batu
kecil terlempar dari semak-semak. Dia berteriak kesakitan.
“Aw! Siapa itu?” Wanita itu berlari ke dalam
semak-semak. Dia keluar dari pagar rumah mencari seseorang yang melemparkan
batu ke kepalanya. Sesosok gadis kecil berkulit putih dengan rambut sebahu yang
dikuncir dua berlari kearah berlawanan. Lelaki kecil itu mendapatinya keluar
dari semak-semak. Dia mengejar dan menahannya. Gadis kecil itu membalikkan
badan sambil tersenyum. Dia menepuk pundak kirinya menggunakan tangan kanan.
Sebuah bahasa isyarat yang artinya pertolongan.
Dru melepaskan
genggamannya. Dia menatap Alia datar sambil berbisik pelan. “Terimakasih telah
menyelamatkan ku dulu.” Alia terbatuk-batuk dan mencoba untuk bernapas.
Dru pergi tanpa pamit dan meninggalkan mereka berdua yang saling berpelukan.
“Kau tidak
apa-apa? Apa yang tadi dia katakan?” Alia menatap punggung Dru yang sudah
berjalan jauh. Dia menggeleng.
***
Umurnya
masih 10 tahun ketika dia datang untuk dipekerjakan di rumah Kakek Pit. Alia
diambil dari Panti Asuhan Seruni. Dru, Sadira, dan Kakek Pit memiliki rumah
yang berdekatan. Namun Sadira meninggalkan kota ini menuju Yogyakarta ketika
berumur 6 tahun. Sementara Dru meninggalkan kota ini 7 tahun setelah Sadira
pergi ketika Ibu tirinya meninggal dunia karena serangan jantung. Dia dibawa
oleh saudara ayahnya menuju Yogyakarta pada usia 13 tahun. Alia kecil tak
pernah bertemu dengan Sadira kecil. Alia kecil mengenal Dru kecil. Sadira besar
pernah menceritakan tentang kisah Dru kecil kepada Alia besar. Alia besar tak
mengira bahwa Dru kecil yang Sadira besar pernah ceritakan adalah Dru kecil
yang sama yang dia kenal dahulu.
Ini sudah hampir seminggu sejak kedatangan
Dru. Hari-hari Sadira dipenuhi dengan kegelisahan atas bayangan jika dia datang
kembali.
“ Dia akan
membahayakan kita. Semoga dia tidak datang kembali.”
Dia tak akan menyakiti kita lagi. Tulisnya
di atas buku diari berbahan kulit berwarna hitam.
“Kau
yakin, Alia?”
Alia
mengangguk yakin.
“ Apa yang
membuat kau sangat yakin?” Sadira menatapnya dengan tatapan menyelidik. Alia
mengangkat bahu. Sadira mengernyitkan dahi. “Ada hubungan apa antara kau
dengannya?” Alia menggeleng cepat. Sadira meninggalkannya ke ruang baca sambil
sesekali melihat Alia yang sedang menuliskan sesuatu di diari nya.
Alia duduk
di sofa merah dekat tempat kasir. Seharian ini dia hanya menulis sambil
sesekali termenung sendiri. Dia tidak menyadari bahwa Sadira sedang
mengamatinya dari ruang baca.
Anak laki-laki itu bernama Dru.
Akhirnya aku mengetahui namanya setelah sekian lama hanya bisa mengamati nya
dari jendela kamar ku. Wahai Pengejar Capung yang selalu terlihat sendiri,
tidak ada yang lebih buruk daripada pertemuan seperti beberapa minggu yang
lalu. Sadira benar, kau telah berubah.
Alia.
***
Hari ini
adalah hari pertama mereka membuka kedai kemung. Belum ada satu orang pun yang
datang. Sadira bilang, biarkan semesta yang membawa mereka kemari tanpa
dipaksa. If it mean to be, they will find
the way to come in. Berapa hari yang lalu mereka menyebarkan beberapa
brosur yang mereka tulis dengan tangan ke beberapa tempat.
Salam kenal, kamu yang
sedang membaca brosur ini dengan perasaan yang mungkin sedang kalut atau
bahagia. Perkenalkan nama ku Kemung.
Aku adalah sebuat tempat yang berada di sebuah tempat
yang tidak banyak keramaian, sunyi, dan menenangkan. Tidak ada mobil
berseliweran, tidak ada debu polusi, tidak ada perkumpulan kaum urban yang
berdandan kekinian, tidak ada kemewahan. Sederhana.
Rumah tingkat dua dengan halaman
yang cukup luas ini dikelilingi banyak sekali tanaman bunga dan rumput hijau.
Hanya pagar kayu dengan daun yang merambat lah yang melindungi rumah ini. Tak
ada barang-barang mahal, namun banyak kenangan yang tidak bisa dibayar dengan
uang.
Suara burung yang berkicau, kepakan sayap capung dan kupu-kupu,
serta gemericik air hujan, kau bisa merasakannya disini. Sebuah tempat dimana
kamu bisa membiarkan khayalan mu meliar. Yang kau lakukan hanya tinggal berdiam
diri, men-charge energi, duduk, membaca buku, mendengarkan lantunan lagu lama
dari gramophone ku, merasakan angin yang meniup, dan menghangatkan badan mu
dengan satu cangkir teh hangat yang rasanya bisa kau pilih sendiri.
Kemung singkatan dari Kecil dan Mungil. Rumah tua ini disulapnya
menjadi sebuah kedai buku yang sangat nyaman. Walaupun berukuran kecil, namun
halaman disekitarnya cukup besar. Kedai
buku kemung terdiri dari tiga bagian. Kebun angan, rumah pohon, dan galeri baca.
Kebun Angan
Sebuah halaman di belakang rumah yang di batasi oleh pagar kayu dengan
tinggi kurang dari satu meter. Diantara pintu masuk tersebut terdapat plang
bertuliskan kebun angan. Disini pengunjung bisa membaca buku atau sekedar minum-minum
teh diatas karpet piknik yang disewakan. Inilah tempat dimana para pelamun
menghabiskan waktunya untuk menghayal.
Rumah Pohon
Sebuah rumah pohon di
halaman belakang dimana terdapat bantal empuk dan karpet tebal yang membuat
siapapun bisa tiduran sepanjang siang di atas sana. Akan banyak sekali
rantai-rantai yang menjulur di dalamnya. Jangan heran jika kau menemukan banyak
serpihan kayu disana. Kau bisa menemukan buku-buku dongeng anak di dalam koper
yang aku tumpuk sebagai meja. Jika malam datang, lampu-lampu natal dan lampion diatas
rumah pohon tersebut akan dinyalakan dan kunang-kunang akan menemanimu disana.
Galeri Baca
Tempat ini ada di dalam rumah. Kau akan menemukan banyak buku
yang tak akan pernah kau temukan di toko buku manapun. Setiap buku yang kau
baca akan membawa mu jauh menuju pulau imaji yang jaraknya ribuan mil. Yang
akan membawa mu berkelana dengan beberapa teman baru. Buku itu akan membuat mu
selalu merasa kehilangan setiap selesai membacanya.
Cari aku,
temukan aku, kutunggu kau disini.
Kemung.
Alia
mondar-mandir menunggu pengunjung yang tak juga datang. Dia menyangsikan brosur
tanpa alamat yang Sadira buat. Bagaimana
mungkin orang akan datang? Kenapa
Sadira memperumit sesuatu yang seharusnya menjadi sederhana saja? Alia
mencari keberadaan Sadira yang
sekarang sedang asik membaca buku di rumah pohon belakang. Alia berjalan keluar
pagar, dia tak melihat ada tanda-tanda manusia datang. Alia mulai gelisah.
“Sudahlah,
Alia. Tenang saja. Aku tau apa yang aku lakukan.” Katanya masih asik membaca
buku dongeng anak-anak yang pernah menjadi favoritnya dahulu. Alia memutar
matanya. “Aku hanya ingin membuat mereka sedikit berpetualang mencari tempat
ini.” Ujarnya dari atas rumah pohon dengan sedikit berteriak.
“Aliaaaa,
tangkap!” Sadira melemparkan sebuah buku berjudul Simba Has A Wish ke arah
Alia. Alia memungutnya. “Sekarang naiklah ke atas dan berikan buku itu kepada
ku!” perintah Sadira. Alia berjalan menjauh. “Ayolah Alia, ketakutan mu akan
ketinggian hanya merugikan dirimu sendiri. Lihatlah apa yang aku lihat dari
sini. Lautan awan luas yang indaaah sekali. Gedung-gedung itu hanya terlihat
beberapa centi dari sini. Kau tau Alia, kata Ayah udara yang berada di
ketinggian di atas 100 meter dari tanah adalah udara perawan. Udara yang belum
pernah dijamah oleh siapapun. Segaaaar. Kau tak tertarik?” Alia menutup
telinganya. Pelan-pelan Sadira menuruni tangga kayu rumah pohonnya dan menarik
Alia menuju ke atas dengan paksa dan penuh perjuangan.
“ Sekarang
buka mata mu.” Alia membukanya perlahan. Mukanya pucat memandang betapa jauhnya
dia dengan tanah. Alia menggenggam kayu penopang dengan sangat kuat. Mereka
berdua duduk di ujung rumah pohon dengan kaki yang menjulur ke bawah.
“
Disinilah aku akan menghabiskan waktu ku” Alia memandang Sadira yang sedang
memejamkan mata dengan bibir yang tersungging. Sambil sesekali menggoyang-goyangkan
kakinya. Alia mengangkat kakinya perlahan. Dia memundurkan posisi duduknya
lebih ke dalam. Menyender pada tembok kayu rumah pohon dan kembali menulis.
Sesederhana inikah bahagia untuk nya?
***
Seorang
lelaki mengetuk pintu. Tangan kirinya menggenggam sebuah kertas. Sesekali dia
membaca kembali kertas itu dan mencocokkannya dengan papan bertuliskan kemung
yang dia temukan di depan. Dia menggunakan kaos putih yang basah karena
keringat. Tas ransel lusuh bertengger di pundaknya. Dia menggoyangkan lonceng kecil
di atas pintu. Tak ada yang datang. Lelaki ini masuk ke dalam dengan
berhati-hati. Matanya tak berkedip memandangi segala hal yang dia temui. Dia
mengambil sebuah buku dari rak dan membacanya sekilas.
“Mungkin
ini yang mereka namai dengan galeri baca.” Desisnya.
Apa yang
dia lihat di halaman belakang ternyata lebih mengalihkan perhatiannya. Dia
menuju kebun bunga yang dikelilingi sebuah pagar kayu yang tidak lebih dari
pinggangnya. Pagar itu dia buka perlahan. Disana ada beberapa karpet yang telah
di hamparkan dengan beberapa kelinci yang sedang berlarian. Dia tak bisa
berhenti mengagumi tempat ini.
“ Oh
Tuhan, hari-hari ku akan menyenangkan disini. Akhirnya aku menemukan rumah ku.”
Sadira
melihat lelaki berkaos putih dari atas rumah pohon sedang berjalan-jalan di
dalam kebun angan. Dia mengamati setiap gerak-geriknya. Lelaki itu
menelentangkan tangannya sambil tidur-tiduran di atas rumput. Sadira menyenggol
Alia yang masih menulis.
“Lihat
dia” katanya menunjuk pada laki-laki itu. “Pelanggan pertama kita. Manusia
pilihan semesta. Kemung telah memilihnya.” Ucapnya sambil menghela napas
panjang. “Apa aku bilang, semua akan berhasil” katanya sambil menatap Alia yang
juga sedang menatapnya dengan pandangan tak percaya.
***
“Selamat datang.” Sadira menyapanya. Lelaki
itu terperanjat. Dia bangun dari tidurnya. “Siapa kalian?” tanyanya. Sadira
menjulurkan tangan. “Kau bisa panggil aku Sadira. Ini Alia. Kami pemilik
Kemung.” Lelaki itu membersihkan tangannya. Dia menyambut hangat perkenalan
yang ditawarkan Sadira
“ Burin.
Nama ku Burin.” Katanya singkat dengan suara dalam. “Genius. Tempat ini genius. Aku menemukan
selebaran ini di pinggir jalan dekat kampus ku. Entah apa yang membuat aku terdorong
untuk suatu hari nanti ingin mencarinya. Sebelum aku benar-benar mencarinya, kebetulan
aku ke daerah sini untuk bertemu dengan teman ku. Tapi entah apa yang membuat
aku tersesat. Tiba-tiba saja aku menemukan rumah ini dan mengingat brosur itu.”
Katanya sambil memperlihatkan brosur yang pernah Sadira dan Alia sebarkan.
Alia
menggeleng masih tak percaya. Sadira mengambil brosur di tangan lelaki itu. “
Burin, tak pernah ada yang namanya kebetulan. Semua ini takdir. Kemung telah
memilihmu.”
Burin
mengangguk, isyarat setuju. “Kau tau? Aku menghabiskan waktu beberapa tahun
terakhir ini untuk mendefiniskan kembali arti sebuah rumah. I think home is
where the heart is. But my heart is no longer in my parent’s house. I guess, Kemung
is. Is this love at first sight?”
Sadira
menepuk bahu Burin. “ Congratulation. Kemung takes you in.”
***
Sadira
mengajak Burin berputar-putar. Menjelaskan beberapa hal yang ada disini. Mereka
asik bercerita seperti sahabat lama. Alia mengantarkan teh susu yang Burin
telah pilih.
“Sekarang,
Apa arti teh yang aku pilih?” Burin bertanya kepada Sadira sambil menyeruput
teh nya yang masih panas.
“ Kau sedang
merindukan keluarga.” Burin yang sedang meniup tehnya langsung terdiam.
“Aku masih
tak percaya bahwa filosofi teh yang tadi kau jelaskan itu benar. Teh itu
benar-benar bisa menebak apa yang aku rasakan.” Burin menggeleng kagum sambil
kembali menikmati teh nya.
***
Manusia-manusia
pilihan kemung mulai berdatangan setiap harinya. Entah berasal darimana,
bagaimana mereka menemukan tempat ini, apa yang membuatnya tergerak untuk
kemari, semuanya adalah misteri sebuah kebetulan. Mungkin inilah cara Tuhan
mengatur sebuah rezeki. Apa yang akan menjadi milikmu, akan menjadi milikmu.
Apa yang tidak menjadi milikmu, tidak akan menjadi milikmu.
Rumah ini
tak lagi dihuni dua orang. Keadaanya memang tidak terlalu ramai, tapi tidak
sepi. Mereka bertemu beberapa orang baru dengan latar belakang kehidupan yang
tak biasa. Percaya atau tidak, kemung seperti menyeleksi siapa saja yang
diperkenankan untuk mengunjunginya.
***
Sadira
menyepi ke rumah pohonnya. Mengamati dari atas apa yang dilihatnya di bawah.
Seorang gadis muda oriental sedang mencatat sesuatu dari apa yang dia baca.
Beberapa buku berserakan di sekitarnya. Gadis oriental itu terlihat menulis
sesuatu di atas kertas, lalu merobeknya, menggulungnya bulat-bulat, lalu
menulis kembali, merobeknya kembali, dan menggulungnya bulat-bulat.
Perfeksionis.
Dia tak
sadar bahwa Roti gandumnya mulai digerogoti oleh kelinci yang dibiarkan
berkeliaran bebas di kebun angan. Cici, namanya.
Sadira
mengamati Alia yang keletihan. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mengantarkan
setiap pesanan sendirian. Jika waktu sedang luang, dia duduk di atas ayunan
sambil kembali menulis di buku diarynya. Si bisu yang selalu berbicara dengan
benda bisu.
Burin
tertidur di atas kursi. Sadira bisa melihatnya melalui jendela. Tak pernah dia
melewati hari tanpa kemari. Sadira membuka tokonya jam 10 pagi, dan menutupnya
jam 9 malam. Burin datang jam 10 kurang lima dan pulang jam 9 lebih lima. Dia
memang menjadikan kemung rumahnya. Burin, sang loyalis kemung.
Sadira
merasa hari ini energinya terkuras habis, dia menarik diri untuk mengisinya
kembali. Sadira masuk ke dalam rumah pohon untuk mengambil buku-buku bacaan
miliknya sewaktu kecil. Ketika Sadira keluar, dia mendapati seorang laki-laki
sedang duduk di tempatnya. Lelaki itu bersenandung dengan siulannya. Dia
mengeluarkan harmonica dari saku dan langsung memainkan sebuah nada. Sadira
masih berdiri di belakangnya. Dia berdeham. Lelaki itu tak menggubrisnya. Dia
kembali berdeham lebih keras. Suara harmonikanya menenggelamkan suara Sadira.
Kini dia pura-pura menjatuhkan bukunya. Lelaki itu menoleh kebelakang.
“Maaf
kupikir tak ada orang.” Lelaki dengan mata coklat dan janggut tipis di depannya
tiba-tiba membius Sadira.
“ Oh. Euh.
Hmm.” Sadira terlihat canggung. Dia mencoba mengendalikan kekakuannya.
“ Siapa
yang menyuruh mu untuk naik kemari?” Lelaki itu menyerahkan brosur Kemung.
“Bukankah tempat ini salah satu bagian dari Kemung?” Sadira kebingungan untuk menjawab
pertanyaanya. “Iya, tapi, tapi aku berubah pikiran. Aku tidak mau berbagi tempat
ini. Ini markas ku.“ Lelaki itu tertawa. Menyejukkan. Dunia Sadira berhenti beberapa
detik. Senyumnya tertangkap oleh lensa mata dan masuk kedalam benaknya. Tawanya
membuat kupu-kupu menari dalam perutnya. Nafasnya mulai tak beraturan.
“Heh. Siapa
namamu?” Tanya Sadira dengan tidak ramah.
“Gasta. Anggasta
Guntara.” Jawabnya singkat sambil kembali memainkan harmonika.
Mailida, Maret 2013
Comments
Post a Comment