2012 taugh me how to survived. That very-hard-year made me to be a
survivor. I could trek up that year by myself. With God’s leading, definitely.
I can’t believe I can passed it though I should go through the big storm.
Ok, so here is my true story. I swear this is not my ramblings. This
is real.
I hope you guys can learn something from this.
***
Tahun 2012 memang tahun yang super padat buat saya. Padat
pelajarannya. Bermula dari meninggalnya teman saya, A. Dia meninggal dunia
karena mengidap penyakit leukemia di bulan April 2012. Tidak ada yang pernah
percaya bahwa dia mengidap penyakit tersebut. Semuanya serba tiba-tiba.
Kematiannya benar-benar menampar saya. Mungkin kita sering denger berita tentang
orang yang tidak kita kenal meninggal dunia di televise, koran, dan sebagainya.
Paling respon kita cuma mengucapkan Innalillahi , ikut berduka, lalu kehidupan
normal kembali. Tapi ketika kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa yang
meninggal itu adalah orang terdekat kita seperti teman, sahabat, orang tua,
atau saudara, pasti rasanya aneh. Membayangkan orang yang sehari-harinya
berkomunikasi dengan kita, sosoknya ada di depan kita, dan yang suaranya pernah
kita denger, ternyata udah berada di alam yang berbeda itu rasanya memang aneh.
Hingga beberapa minggu setelah dia meninggal, setiap malem saya
selalu memikirkan sesuatu yang sama. Kematian itu ada ya ternyata. Kematian itu
pasti dateng ya. Saya juga pasti bakal ngalemin. Apa yang A jalanin disana?
Bagaimana rasanya ketika tiba-tiba malaikat pencabut nyawa datang? Dibawa
kemana dia? Pikiran itu terus berulang
dan berulang. Akhirnya ada titik dimana bukan lagi kesedihan yang saya rasain.
Tapi sebuah kebingungan tentang keberadaan saya di dunia.
Dan Allah maha hebat bagaimana cara Dia memberikan petunjuk,
hari-hari yang saya jalanin di bulan berikutnya membuat kebingungan itu
terjawab sudah.
Hari dimana A meninggal, saya harus menjalani tes Akuntansi di
PT.PM. Saya tidak lolos karena memang tidak ada yang bisa saya isi. Pikiran saya
gak focus.
Di bulan Mei, saya mengikuti tes recruitment di PT. BM. Mungkin
inilah saatnya saya membayar kegagalan saya di PT.PM dulu. Dan Allah SWT juga ternyata
mengajarkan saya banyak pelajaran melalui perusahaan ini. Pikiran saya sudah
tidak lagi memikirkan kejadian di bulan April. Saya menyibukkan diri untuk
meraih cita-cita saya. Satu minggu penuh tanpa henti saya mengikuti tes mulai
dari psikotes, interview hard, FGD, interview user, sampai medical checkup.
Semua tes saya lalui dengan lancar, kecuali medical checkup. Setelah di telepon HRD lolos interview user,
saya disuruh bersiap-siap untuk mengikuti tes terakhir, medical checkup sekitar
3 hari setelahnya. Medical checkup itu dilakukan di RS Boromeus. Sebagai
manusia yang memiliki white coat syndrome (phobia segala hal yang berhubungan
dengan dokter), pergi ke rumah sakit adalah nightmare. Bagaimana mungkin saya
bisa berpositive thinking dengan hasil medical checkup? Menjalani tes medical
checkup lebih menegangkan daripada interview dengan general manager sekalipun.
Karena PT. BM akan menempatkan saya bekerja di site / remote area, maka
kesehatan kandidat cukup penting. Itulah mengapa medical checkup yang kami
lakukan sangat ketat. Dilakukan dalam 4 hari. Mulai dari tes ECG Jantung, tes
paru-paru, rontgen, tes darah, tes urine, tes THT, tes mata, observasi langsung
dengan dokter, hingga tes FESES (-_-).
Tes ini benaar-benar menguras energi. Dimulai ketika saya hampir pingsan
ketika pengambilan darah puasa. Yang menyebabkan beberapa hari setelahnya saya
harus tes darah ulang karena gula darah saya terlalu rendah. Lalu tes feses. Saya
susah sekali untuk BAB hari itu, teman-teman saya hanya membutuhkan waktu sebentar
untuk akhirnya memberikan feses nya ke petugas. Hingga jam 4 sore, perut saya
belum berkontraksi. Padahal segala minuman berserat sudah saya minum. Teman-teman
saya sudah pulang dari RS. Akhirnya saya menghadap suster yang mengurus medical
checkup calon pegawai PT.BM
“Suster, saya belum mau poop.”
“Yasudah ditunggu sampai jam 8 malam”
Jam 4 sore saya pulang ke rumah. Berharap bisa poop di rumah. Saya
menunggu hingga jam 8 malam hingga akhirnyaaaaa feses itu datang juga. Dengan
ditemani ibu saya, jam 8 hampir menuju jam 9, saya pergi ke boromeus
menyerahkan feses itu. Perjuangan yang gak gampang menunggu feses datang
-___-
Jujur, saya sangat stress menjalaninya. Setelah medical checkup itu
saya lakukan, pikiran pikiran buruk mengenai keadaan saya muncul begitu saja.
Seperti, jangan-jangan saya sakit X, atau sakit Y, atau sakit Z? Pengumuman
hasil medical checkup diberitahukan sekitar satu bulan setelahnya.
Setelah menjalani medical checkup, saya mengidap penyakit aneh.
Badan saya sangat lemas, seperti anemia. Untuk memegang handphone saja rasanya
sulit. Melangkah rasanya beraaat sekali. Saya sedikit sesak napas. Setiap malam
badan saya menggigil. Keluar keringat dingin. Leher, tangan, semua terasa
sakit. Perut saya sakit. Dada saya sakit. Dan yang terburuk, pikiran saya
menjadi gelisah. Saya gak bisa tidur. Saya selalu ngerasa bahwa sebentar lagi
saya bakal mati. Mungkin terdengar drama, tapi demi Allah saya ngerasa kaya
ajal bakal datang gak lama lagi. Baca terus tulisan ini, semuanya akan terkuak
nanti.
Mungkin ini kebiasaan buruk, kalau sakit saya memang tidak langsung
pergi ke dokter untuk mengeceknya. Saya tidak memberitahukan kedua orang tua
saya. Saya tidak memberitahukan siapapun. Saya berlagak sehat. Saya berharap
bisa sehat dengan sendirinya. Tapi ternyata ketidakinginan saya untuk
memeriksakan diri ke dokter saat itu adalah bagian dari rencana besar-Nya.
Pengumuman hasil medical checkup memang satu bulan lagi, tapi saya
sudah yakin bahwa saya pasti gak diterima. Dengan pikiran negative yang selalu
saya tanem di otak, keadaan saya makin buruk. Tiba-tiba saya teringat teman
saya yang meninggal bulan lalu, A. Saya pikir saya anemia kala itu. Karena saya
benar-benar merasa gak ada tenaga sama sekali. Lalu saya pikir jangan-jangan
saya leukemia juga. Leukimia adalah penyakit autoimun dimana sel darah putih
menyerang sel darah merah. Apa itu yang membuat saya lemah dan anemia? Ditambah
dada saya yang sedikit sesak membuat saya merasa bahwa anemia saya sudah berat.
Mungkin sel darah putih sudah benar-benar menghabisi sel darah merah saya.
Perut saya pun sakit. Saya jadi ingat beberapa minggu sebelum A meninggal, dia
mengeluh perut yang sakit. Fix makin saya berpikir bahwa saya leukemia juga.
Setiap hari saya ketakutan melihat tubuh saya jika tiba-tiba sudah ada bintik
merah seperti A dulu. Setiap bangun pagi, saya bersyukur karena masih bisa
hidup. Setiap mau tidur saya takut tidak bisa bangun lagi. Saya benar-benar
takut.
Hingga akhirnya ketakutan akan kematian itu membuat saya mengingat
apa saja yang sudah saya perbuat kemarin-kemarin. Memori tentang dosa-dosa yang
pernah saya lakukan seakan mengintimidasi keadaan saya yang secara fisik juga
sedang tidak baik. Saya minta ampun seampun-ampunnya. Saya bener-bener gak
berdaya. Saya takut akan penyesalan yang berkepanjangan di kehidupan
selanjutnya. Saya ngerasa sangat keciiiiil dan menyadari bahwa Allah maha
besar. Saya gak bisa apa-apa. Saya mengakui semua kesombongan saya. Saya
mengakui segala khilaf. Ini benar-benar teguran maha dahsyat.
Hingga akhirnya tanggal 2 Juli diumumkan hasil medical checkup. Saya
dan beberapa temen gak lolos. Makin aja saya ngerasa kalau ‘saya ada apa-apa’.
Tanggal 4 Juli, HRD PT.BM menelepon saya dan beberapa teman saya kembali.
Mereka menyuruh kami untuk mengulangi beberapa tes. Tes yang harus saya dan
teman saya jalani adalah tes urine ulang. Saya pergi ke pramita untuk tes urine
ulang. Lalu hasilnya di scan dan di email kan ke HRD PT. BM. Hanya butuh waktu
satu jam untuk mengetahui hasilnya. No wonder, disini saya juga stress bukan
main. Hehe. Pelan-pelan saya membuka hasilnya. Semua hasil negative kecuali…
Leukosit Esterase dengan hasil Positif 1. Ketika mengambil hasil,
penjaga pramita menyarankan saya jika mau berkonsultasi dengan dokter. Tapi
saya terlalu takut untuk mendengarkan berita buruk. Untuk mengetahui apa arti
dari leukosit esterase positif 1. Akhirnya saya menolak dan pergi dari Lab
tersebut. Saya pun tidak melakukan searching di Google tentang apa itu Leukosit
Esterase. Ternyata ketidakinginan saya untuk berkonsultasi kepada dokter dan
searching di Google juga termasuk dalam rencana besar Nya.
Tiba-tiba saya teringat bahwa leukosit adalah sel darah putih. Makin
lah saya meyakini asumsi saya bahwa saya memang mengidap leukemia stadium 1.
Entah apa yang ada di dalam pikiran saya kala itu. Saya tidak bisa berikir
jernih. Lalu saya pun memutuskan untuk tidak mengirimkan hasil tersebut. Saya
menyimpannya rapat-rapat. Tapi… entah apa yang membuat saya tiba-tiba terbersit
untuk mengirimkan hasil tersebut. 3 hari setelahnya saya kirim hasil tes urine
itu dengan perasaan pasrah. Ternyata dorongan untuk akhirnya mengirimkan hasil
tersebut juga termasuk dalam rencana besar-Nya.
Saya menjalani hari-hari dengan berpikir bahwa saya memang Leukimia.
Saya cuma pengen sidang dan bikin ibu saya bangga. Saya menjalani sidang
sarjana 10 Juli 2012 dengan susah payah. Dengan keadaan yang tidak terlalu
baik. Dengan kondisi yang masih sama. Malah semakin buruk. Setelah saya
berjuang menjawab setiap pertanyaan sidang, akhirnya sidang saya beres juga. Di
akhir sidang, Pa Arwan, pembimbing saya, mengutarakan sebuah pertanyaan : Ada kata-kata terakhir? Hah. Makin saya
merasa bahwa eksistensi saya di dunia tidak akan lama. Sempurna lah sudah
kegalauan saya.
Selesai sidang, saya menatap teman-teman saya dengan pikiran, apa
saya bakal ketemu mereka lagi? Saya sedih kala itu. Dan saya yakin tidak ada
orang yang tau apa yang sedang saya pendam. Padahal itu hari dimana saya
selesai sidang, dimana seharusnya saya senang.
Setelah sidang, saya dipanggil untuk mengikuti interview HRD PT. SIS
. Gak ada hasrat untuk menjalani tes ini. Badan saya makin terasa gak fit. Saya
Cuma pengen sehat. Betapa sehat sangat berharga buat saya kala itu. Tapi tak
disangka saya lolos untuk interview user ke Jakarta. Walaupun ujungnya saya
gagal dengan PT.SIS ini.
Ini sudah hampir 1 bulan dari ketika saya tes urine ulang. Belum ada
pengumuman. Saya pikir, “Ah gak mungkin juga saya keterima, saya kan sakit.”
Hari-hari setelah sidang, saya mengurung diri. As usual, if my
battery low, I need solitude in order to recharge. Saya pun menolak semua
ajakan main teman. Ketika semua ber euphoria atas kelulusan sidang, saya
berdiam diri untuk banyak berpikir. Saya menyadari bahwa sakit saya ini sebuah
peringatan bahwa saya harus lebih bersyukur tentang kesehatan. Betapa bisa
bernafas lega saja sudah sangat menyenangkan. Saya selalu sedih ketika melihat
kedua orang tua saya. Karena memikirkan bahwa saya tidak akan bertemu mereka
lagi. Saya menyadari semua kesalahan saya kepada mereka. Saya benar-benar malu
sama Allah. Saya mulai menenangkan diri. Saya mulai menerima semua cobaan ini.
Saya pernah berdoa begini “ Ya Allah jika
memang kematian baik untukku, matikan aku dalam keadaan khusnul khotimah. Tapi
jika kehidupan masih baik untukku, berikan aku kesempatan kedua untuk
memperbaiki segalanya”
Saya tidak cukup percaya diri untuk bisa masuk surga. Tapi saya juga
tidak ingin masuk neraka. Akhirnya saya memutuskan untuk memperbaiki segalanya
sedikit demi sedikit. Saya tetap masih sakit. Saya tetap tidak mau ke dokter.
Saya tetap menyimpan semua rapat-rapat sendirian. Hingga akhirnya ada satu pikiran
yang bikin saya sangat sedih. Jika saya mati, saya belum bisa membahagiakan
kedua orang tua saya. Saya ingin menaiki haji mereka. Tapi dengan keadaan
seperti ini, rasanya tidak mungkin. Hingga akhirnya saya membuat.. surat
wasiat. Saya bersumpah apa yang saya tulis ini benar. Mungkin kalian berpikir
bahwa saya terlalu berlebihan. Tapi apa yang saya alami memang benar. Penyakit
ini benar2 menyerang psikis saya bahwa saya benar2 akan meninggal.
Surat wasiat berupa buku itu berisi permintaan maaf saya kepada
orang tua. Pesan-pesan untuk adik dan teman teman saya. Setiap menulis itu saya
menangis. Halaman awal tulisan itu seperti ini:
Catatan Mailida
“
Bahwa kematian itu sangat dekat, teman..”
Untuk kedua orang tua ku, royalti buku ini kuserahkan
sepenuhnya untuk kalian. Pergilah berhaji dan sedekahkan untuk siapapun yang
membutuhkan.
Penerbit, aku mohon cetaklah tulisan ini menjadi
sebuah buku. Lakukan segala cara yang baik agar buku ini menjadi best seller.
Serahkan sepenuhnya kepada kedua orang tua ku. Hanya ini persembahan terakhir
yang bisa kuberikan untuk mereka.
Saya bersumpah Demi Allah
tulisan di atas pernah saya tulis. Saya gak mengada-ada. Sedih kan? Sedih
banget. Saya bener-bener pengen beramal jika memang saya harus meninggal sedini
itu. Di surat tersebut saya menulis keadaan saya setiap harinya. Saya nangis
terus membayangkan bagaimana orang tua saya. Membayangkan bahwa saya belum bisa
membahagiakan mereka. Hingga akhirnya saya benar-benar memohon kepada Allah
untuk diberi kesempatan hidup kedua. Bahwa saya pengen bahagiain orang tua dan
kembali ke jalan yang lurus. Saya pengen hidup saya lebih bermanfaat. Saya
membuat proposal hidup kepada Allah tentang apa yang akan saya lakukan jika
diberi kesempatan hidup kedua. Saya memikirkan kembali tujuan hidup saya di
dunia ini.
Lalu, hidup saya berubah. Saya mulai mendengarkan apa yang jarang
saya dengar dulu. Saya melakukan sesuatu yang seharusnya diperintahkan dari
dahulu. Saya membaca apa yang jarang saya baca dulu. Hingga akhirnya saya
pasrah. Saya menyesali semuanya.
Ketika seseorang masih
menanyakan keberadaan Tuhan, kau bisa dengan mudah menemukan Nya di dalam mata
para pesakitan yang merasa ajalnya sudah dekat.
Ketika kita menyia-nyiakan
hidup, ingatlah ada seseorang yang menginginkannya untuk dimanfaatkan lebih
baik.
Selama saya mengalami masa-masa ini, saya jadi teringat akan teman
saya si A ini. Beginikah yang dia rasakan sebelum dia meninggal? Saya pernah mendatangi
makam nya untuk berdoa dulu. Saya jadi membayangkan suatu hari nanti saya
berada di dalamnya juga. Saya benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa selain
pasrah. Saya bertahan beberapa lama tidak memberitahukan apa yang saya alami
kepada siapapun. Saya takut merepotkan orang tua saya. Saya takut bahwa penyakit
ini membuat mereka sedih dan menjadi beban mereka. Saya memohon kepada Allah
kala itu, agar selama hidup saya tidak menjadi beban siapapun. Saya benar-benar
buntu.
Tapi, ternyata Allah maha menepati janji. Setelah kesulitan pasti
ada kemudahan. Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Setelah kesulitan pasti
ada kemudahan. Jalan keluar itu ada ketika kita sudah berada di titik terendah.
Beberapa hari sebelum bulan puasa, saya tergeletak di kasur lemas
lunglai. Pusing dan merasa sangat sakit. Saya gak kuat. Akhirnya saya menyerah.
Tiba-tiba ada dorongan kuat dari dalam diri saya untuk memberanikan diri
searching tentang apa arti leukosit esterase positif 1. Saya pikir mungkin
stadium 1 dan masih bisa diobati. Ternyata…
Leukosit esterase positif 1 bukan sesuatu yang berbahaya. Bukan juga
leukemia. LE +1 adalah infeksi saluran kencing biasa. Karena masih positif 1,
jadi tidak ada arti apa-apa. Saya duduk lemas. Lega. Juga terharu.
Dalam hati saya berkata. Allah menyelamatkan saya. Inilah caranya
untuk membuat saya menjadi lebih baik. Inilah jawabannya. Inilah rencananya.
Saya mulai mengerti hikmah semuanya. Saya bersyukur dan berusaha menjadi lida
yang lebih baik. Karena inilah kesempatan hidup kedua yang harus saya jalani.
Besoknya saya memutuskan untuk pergi ke dokter untuk memeriksa
keadaan saya. Karena ciri-ciri Infeksi Saluran Kencing tidak seperti apa yang
saya alami. Jadi sebenarnya saya sakit apa?
Saya menjelaskan semua gejala yang saya rasakan. Sesak napas, badan
lemas seperti anemia, menggigil kedinginan, perut leher punggung yang sakit,
sakit menelan, dan semua yang saya rasakan sambil membawa hasil tes urine yang
waktu itu saya lakukan di pramita.
Benar saja, dokter bilang LE +1 bukan sesuatu yang berbahaya. Dari situ
saya bersyukur, untung saja Allah menggerakkan hati saya untuk mengirimkan
hasil tes urine ulang tersebut ke HRD PT.BM. Namun hingga 1 bulan setelahnya
mereka belum mengumumkan hasil tes urine tersebut. Saya tak peduli. Saya pasrah.
Setelah dokter memeriksa saya, dia memberikan satu resep obat. Saya
bertanya. Obat apa ini? Dokter bilang ranitidine. Obat sakit maag.
-_________________________-
MAAG? Jujur saya gendok dan berpikir bahwa dokter salah mendiagnosa.
Saya ke dokter hingga 3x dan diagnosanya pun sama. Setelah rasa sakit yang saya
rasakan selama ini, saya di diagnose sakit maag. Semua jadi terasa lucu. Tapi saya
masih tidak yakin, akhirnya saya searching dengan keyword maag dan sesak napas.
Yang keluar adalah penyakit..
GERD. Gastro Exophagus Reflux Diseas. Refluks asam lambung menuju
kerongkongan. Ciri-cirinya persis sama. Sesak, badan lemah seperti anemia,
susah nelen, seluruh badan terasa sakit, dada sakit, dan…. Perasaan gelisih
seperti mau meninggal. Jadi yang saya baca, ketika kita mengalami tekanan atau
stress yang berlebihan maka asam lambung akan memproduksi terlalu banyak. Jadi
jangan heran jika ketika kita sakit maag maka segala terasa karena di lambung
ada semua jenis saraf. Untuk sesak napas, lambung dan paru-paru dibatasi oleh satu
diafragma. Jadi ketika lambung berkontraksi hebat, dia akan menekan paru2 di
atasnya.
Beberapa minggu setelah saya ke dokter, saya dapet kabar bahwa salah
satu temen saya berinisial I juga mengalami hal yang sama. Tapi dia sampai
masuk rumah sakit. Sampai harus dikasih oksigen. Gejalanya sama. Dan yang
paling parah, semua keluarga sudah dia suruh untuk mengikhlaskan kepergiannya.
Ketika saya menjenguk, dia cerita betapa herannya dia karena hanya di diagnose
maag. Lalu saya cerita tentang GERD yang saya alami. Dia kini lebih lega. Cepet
sembuh ya, I ;)
Di sebuah situs saya membaca komen banyak orang yang juga sakit
seperti ini. Ada sebuah comment yang bilang bahwa penyakit ini benar2 menyerang
psikis. Dia tulis gini: “Yakin lah pokoknya pasti ngerasa kaya ajal mau deket
deh”
Ternyata itu perasaan yang sama yang bakal dirasain kalau kena sakit
GERD. Dari situ saya merinding betapa jalan Allah untuk mengubah hambanya
benar-benar tak tertebak. Betapa cara Allah memberikan saya pelajaran sangat
luar biasa. Kejadian ini bikin saya makin menghargai hidup, gak bikin saya
takut mati lagi karena kematian adalah bagian dari hidup, bikin saya
berhati-hati dalam bertindak, bikin saya
menata kembali tujuan saya di dunia ini, bikin saya mendesign ulang apa yang akan
saya lakukan ke depan. Sekarang semuanya jadi terasa lebih enteng. Lebih
tenang. Lebih mensyukuri apapun yang Allah kasih. Apapun yang terjadi, ikhlas
aja.. terima aja.. bahagia aja..
Setelah ini, saya jadi lebih yakin lagi bahwa takdir apapun yang
Allah kasih pasti baik. Insya Allah saya bakal jadi lebih kuat menghadapi
cobaan apapun yang akan saya jalani kelak. Karena tiada daya dan upaya kecuali
petolongan Allah SWT. So, why worry?
Terimakasih banyak Ya Allah atas cobaannya :)
Mailida, Feb 2013
Padahal klo cerita, bisa berkurang tuh stressnya, tapi ya syukurlah klo hikmahnya gede dan pengaruhnya besar, Alhamdulillah. :D
ReplyDeleteHahah gak segampang itu bisa terbukaa. Tapi dicoba :) Iya Alhamdulillah hikmah nya besaaar
ReplyDeleteSaya sampai menangis ketika membaca tulisan ini :'(
ReplyDeletedegdegan mbacanya mba :(
ReplyDeletesaya juga didiagnosis GERD...setelah ke beberapa dokter ada yang bilang saya normal, kena jantung, kena maag, akhirnya diagnosa tepat didapatkan saat ke sp. lambung.
semoga sehat selalu ya..