#7
KEMUNG
Hujan.
Sadira dan Alia berteduh di depan teras ruko. Air hujan menetes dari sela-sela
atap. Bagaikan sebuah tirai yang membatasi mereka dengan dunia luar. Dari sisi-sisi
air hujan yang mengalir terlihat para pedagang toko sibuk menutupi barang
dagangan di depannya dengan plastik. Seorang ibu penjual dvd ketar-ketir
berlarian menutupi dagangannya. Menyelamatkan DVD bajakan yang mayoritas dipenuhi
film-film rhoma irama dan Warkop DKI. Di lain sisi terdengar suara geraman
bapak tua yang beradu keras dengan suara air hujan sedang memarahi seorang
lelaki kecil dekil di sampingnya yang tak sigap mengambilkan terpal. Para
pejalan kaki bubar ketakutan, mereka berlari kecil menghindari air. Memangnya, ada
yang salah dengan hujan?
Sementara,
mereka adalah sahabatnya hujan. Mereka menerjangnya, merayakan kedatangannya,
dan bermain bersamanya. Segerombolan anak lelaki yang tak memakai sendal
berlari-larian. Membuat cipratan dari langkah kaki, terpeleset dan bangun lagi,
mereka benar-benar tak peduli sakit yang akan menjangkitnya nanti. Salah satu dari
mereka, anak laki-laki berbadan kurus dengan baju putih kedodoran terlihat
menengadahkan mukanya ke atas. Dia membuka mulutnya lalu berkata “Barudak,
ayeuna mah cai hujan teh rasana siga kuah indomie siah!” Teman-teman yang lain penasaran
dan mengikutinya. Mereka serempak menengadahkan muka ke atas dengan mata yang
tertutup dan mulut menganga. Menikmati rasa air hujan dengan memainkan
imajinasinya.
Di depan
ruko.
Alia begitu
bahagia melihat pemandangan di depannya. Sadira terlihat gusar sambil berusaha
keras mengingat-ingat sesuatu. Hujan masih saja deras. Jalanan di depan mereka
mulai padat. Para pengendara motor yang serempak mengenakan jas hujan mulai tak
sabaran. Suara klakson sedikit mengganggu. Teriakan kasar terdengar dari
mana-mana. Para pejalan kaki naik pitam. Suasana jalan ricuh. Sebuah mobil di
depan lampu lalu lintas tak bisa dijalankan. Alia masih menikmatinya. Sadira?
“ Aku lupa! Aku lupa! Oh Tuhan ini masalah
besar. Kita telah menempuh jarak jauh untuk sampai disini dan aku lupa
tempatnya. Dulu tidak ada ruko ini disini. Dulu di depan sini ada sebuah
gerobak tua penjual es. Dulu ada sebuah tiang penyangga disana yang menjadi
patokan. Dulu ruko di samping dibatasi
oleh tembok mural bergambar menyeramkan. Dulu.. Dulu.. Tunggu-- Dulu? Hah!
Bagaimana mungkin aku bisa sebodoh ini. Dulu. Ya, dulu. Ketika aku masih
berumur 6 tahun. Pastilah semuanya telah berubah sekarang. Kita dalam masalah
besar Alia.” Alia menggeleng seperti biasa. Sadira menepuk-nepuk jidatnya. Dia
berjalan kesana kemari dengan sedikit basah kuyup dan berharap menemukan apa
yang dicarinya.
Hujan
sudah mulai reda. Jalanan kembali lancar. Para pedagang, pejalan kaki, dan
pengendara motor terlihat bahagia. Anak-anak itu, sebaliknya.
Sadira dan
Alia beranjak dari ruko tempat mereka berteduh dan mulai menyusuri lorong
lorong gelap pertokoan dengan arah yang tidak diketahui mau kemana. Sepanjang
jalan Sadira menggerutu dan mengutuki kebodohannya. Alia berjalan pelan di
belakang Sadira. Kadang menghentikan langkahnya di satu toko lalu kembali
menyusulnya. Sadira berjalan cepat di depannya. Kadang wajahnya senang karena
seperti mengingat jalan. Namun tak lama berubah muram karena menyadari jalan
yang salah.
Lorong
pertokoan ini disebut Pasar Gelosadi. Konon katanya dulu Gelosadi adalah tempat
berkumpulnya orang-orang gila. Sadi adalah seorang lelaki tua yang frustasi
karena gagal memenangkan pertarungan menjadi bupati. Ketika dia masih hidup,
dia selalu berorasi di tempat ini dengan memanggil seluruh orang gila yang dia
temui di jalan. Pidatonya yang ngawur terkadang menjadi hiburan para warga
sekitar. Sadi pun menjadikan tempat ini sebagai tempat tinggal dia dan
teman-temannya. Hingga pada suatu hari program sosial pemerintah yang
merumahkan para penderita gangguan mental ini ke rumah sakit jiwa membuat
tempat tersebut tak lagi dihuni oleh para orang gila dan berubah menjadi sebuah
pertokoan.
Pasar
Gelosadi menjual buku-buku dengan harga relatif lebih murah dibandingkan toko
buku besar. Ada pula buku-buku bajakan yang harganya setengah harga karena
hasil fotokopian. Setiap toko menjual buku dengan jenis yang berbeda-beda. Ada
yang menjual buku kedokteran, buku agama, kumpulan novel, buku mahasiswa
teknik, hingga peralatan sekolah anak.
Tempat ini
cukup luas, mereka harus menyusuri satu demi satu belokan lorong dan terkadang
menemui jalan buntu. Sadira dan Alia terhenti di sebuah pertigaan lorong kios.
Sadira sudah letih memutuskan untuk jalan ke kanan atau ke kiri. Dia melirik
Alia. “ Oke. Pertigaan selanjutnya. Menurut mu, Al? ” Tanyanya. Alia hanya mengangkat
bahu dengan ekspresi yang datar. “Sangat membantu. Terimakasih!” kesalnya
sambil memutar bola mata.
“ Aku
sudah salah beberapa kali tadi. Mempertahankan
ego dengan hanya mempercayai langkah kaki ternyata berakhir dengan menyulitkan
ku. Kini kita seperti terperangkap di dalam labirin yang tak menemukan jalan
keluar. Sebaiknya aku bertapa di sini untuk menunggu wangsit. Aku yakin Dewa
Pencerah Arah Jalan akan datang memberikan petunjuk. Dia akan datang melalui
loteng langit dengan seburat cahaya membawa sebuah jawaban. Dan aku akan
menerima jawaban itu dengan kaki berlutut dan tangan yang menengadah ke……” Alia
memicingkan mata.
“ Oke, aku
hanya bergurau. Baiklah, aku akan bertanya pada bapa di kios sebelah.”
Alia menepak
bahu Sadira. MALU BERTANYA SESAT DI
JALAN. Tulisnya.
“
Pribahasa yang tepat, ALIA” Sadira memasuki kios di sampingnya meninggalkan
Alia.
***
Alia mengambil
kursi plastik di teras kios. Dia menunggu di luar sambil meluruskan kakinya
yang terasa pegal. Dia mengamati orang-orang yang lalu lalang, sebuah penawaran
yang alot, dan durja pedagang yang menunggu pembeli datang. Sadira sedang
berbicara empat mata dengan pemilik kios. Dia berusaha mendeskripsikan tempat
yang dia cari sambil berdecak pinggang dan mengingat-ingat sesuatu. Raut
mukanya tampak kesal. Mungkin karena raut muka bapak di depannya yang selalu
saja mengernyitkan dahi.
“ Tidak
tahu? Masa tidak tahu? Nama tokonya KEMUNG. Penjual barang-barang antik dan
buku-buku tua. Tokonya cukup berbeda dari toko yang lain. Pasti kau bisa dengan
mudah mengetahuinya. Memang sih, sudah sekitar 18 tahun yang lalu aku terakhir
ke mari. Tapi aku masih mengingat toko itu dan.. penjualnya.” Kenangnya.
“ Semua
tentang KEMUNG terlalu istimewa untuk dilupakan. Aku tak mungkin lupa. Aku umm
hanya lupa jalannya saja. Mungkin sewaktu kecil makhluk luar angkasa pernah
mencabut mikro chip di kepala ku yang berisi memori tentang jalan menuju kios
kemung. Syukurlah dia tidak mencabut semuanya.”
Lelaki tua
itu pergi tak menghiraukan Sadira setelah mendengar berapa lama Sadira terakhir
ke Pasar Gelosadi. Dia lebih memilih melanjutkan pekerjaannya membereskan
buku-buku di rak belakang bersama istrinya. Sadira terus saja mengutarakan
pertanyaan-pertanyaan yang dipaksa menemukan jawabannya. Dia bersikeras bahwa
kios itu masih ada. Bahwa disini ada sebuah toko bernama KEMUNG. Sadira
mengikuti kemanapun bapak pemilik kios melangkah sambil terus mencecarnya
dengan pertanyaan. Karena merasa terganggu, bapak pemilik kios yang
perawakannya seperti turunan tionghoa ini langsung menjentikkan jarinya kepada
lelaki berotot besar di depannya. Sadira ditarik paksa. Keluar.
“Siapa dia ko?”
“Olang
gila, ci. Biar saja lah si Hercules yang mengurus. Ci itu di lantai ada lima
latus perak tolong diambil ya. Leubar ci.”
Sadira terus
saja berontak. Dia langsung melepaskan genggaman lelaki berotot yang
menahannya. Dia berjalan cepat menuju luar kios sambil menarik tangan Alia yang
kebingungan dengan apa yang sudah terjadi di dalam.
“ Ayo kita
pergi. Mereka teman-teman Sadi yang tertinggal di rumahkan oleh pemerintah. Kuajarkan
tatakrama suatu hari nanti! ” Bentaknya sambil meninggalkan jauh kios tersebut.
Hari sudah
semakin sore. Perjalanan menyusuri labirin ini belum berakhir. Sadira bertanya
dari satu toko ke toko lainnya. Namun tak ada yang mengetahui kios KEMUNG. Hati
kecilnya berkata bahwa tempat yang dia cari ada disini. Dia tetap bertahan.
Hari
semakin gelap. Toko-toko mulai ditutup. Lorong kios mulai sepi. Para penjual
saling berpamitan dengan teman kios sebelahnya dan satu persatu melangkah pulang.
Dia, akhirnya, menyerah.
Alia
mengusap-usap punggung Sadira. Mereka berjongkok di depan kios yang sudah
ditutup. Orang-orang yang berlalu lalang memperhatikan mereka. Sadira letih,
diapun bercerita sesuatu sambil menutupi muka dengan menempelkannya di atas
lutut.
“KEMUNG
adalah tempat favorit aku dan ayah ku. Sebelum kami pindah ke Yogyakarta, kami
sering menghabiskan akhir pekan disini. Masa kecil ku di kota ini. Ayah jarang
mengajakku ke tempat bermain selayaknya anak-anak lain. Dia menjejali aku dunia
yang berbeda. Dunia imajinasi. Setiap minggu kami membeli beberapa buku disini.
Ayah bilang buku akan membawaku ke banyak tempat, memberitahu ku seluruh
rahasia di dunia, mengenalkanku dengan banyak orang, memberikan aku pengalaman
untuk mencoba menjadi beberapa peran, hanya dengan berdiam diri di tempat.
Menarik, pikir ku dulu. Dan ya, KEMUNG
adalah satu-satunya kios buku yang berbeda disini. Buku-buku yang dijual ditulis
oleh para penulis gagal. Gagal melalui penerbit major. Kurang menjual katanya. Tidak
memenuhi pasar. Dan KEMUNG menampungnya. Buku-buku disana sangat menarik.
Walaupun kuakui memang sedikit agak aneh. Buku cerita pertama ku tentang anak
singa yang memiliki mimpi bertemu alien. Haha. Penulis gila, bukan? Penerbit
mana yang mau memasarkan buku aneh. Tapi kami menyukainya. Banyak hal lain yang
kutemukan di buku-buku yang kata orang aneh itu. Dan dekorasinya. Kami sangat
suka. Kios KEMUNG seperti rumah penyihir. Kau tahu setting rumah Madam Sorgies
di film Freaky Witch? Seperti itu. Ya persis. Apa? Kau tidak tau? Yeah, kau
memang tak tau apa-apa.”
Tak lama kemudian,
Alia menggoyang-goyangkan Sadira. Dia menyuruhnya untuk membuka mata. Alia menunjuk
sesuatu di lorong sebelah kanan. Sadira melihat kearahnya. Lalu dia menatap
Alia.
“Ternyata kau
pernah menonton Freaky Witch.”
Sadira
berjalan cepat menuju arah lorong yang ditunjuk Alia. Sebuah kios kecil
diterangi lampu redup berwarna kuning satu-satunya kios yang masih buka.
Seorang lelaki muda membereskan beberapa buku yang berada tidak pada tempatnya.
“ Aku
benci ketika lagi-lagi si Gupta itu benar.
Menyerah adalah jalan awal menuju
perjalanan yang benar. “ ucap Sadira pelan.
Sebuah kios buku berukuran
kecil yang terletak paling pojok ini memiliki dekorasi yang masih sama seperti
beberapa tahun yang lalu. Cat tembok yang didominasi warna biru tua dan ungu serta
dihiasi bintang berwarna emas dan topi penyihir. Sebuah jendela kecil ditutup
menggunakan gorden bludru berwarna biru tua dengan diikat tali berwarna emas. Meja
yang berbahan besi tempa dengan bola Kristal di atasnya. Disamping kanan
terdapat cermin besar yang di atasnya ditempeli kepala naga dan ornament symbol
huruf mesir kuno. Persis seperti rumah Madam Sorgies. Tak ada yang berubah,
kecuali..
“ JAYA MERDEKA?
Sejak kapan kios KEMUNG berubah nama? Lalu buku-buku ini. Kenapa kau menjual
buku matematika, fisika, kimia, patologi, anatomi, ah muak. Kemana buku Simba
has a wish? Eureka di Negeri Angin? Romario? Bilangan Pi? Kau tak lagi
menjualnya?” Lelaki muda itu tampak kebingungan.
Seorang lelaki
tua terbatuk-batuk keluar dari pintu belakang. Dia menatap Sadira. Sadira
menatapnya. Mereka sama-sama terhenyak. Tak butuh waktu lama untuk mereka
saling mengingat satu sama lain.
“ Dia itu cucu
ku.” Katanya memperkenalkan si laki-laki muda.
“KEMUNG sudah tak
ada lagi. Kau dan ayah mu lah yang membuatnya bertahan. Kalian adalah pembaca
setia. Sudah sejak lama KEMUNG ingin aku tutup. Menjual buku-buku yang tak laku
dipasaran atas nama menampung apresiasi para penulis muda nyentrik ternyata bukan
keputusan yang benar. Kami butuh uang. Mengandalkan kalian sebagai satu-satunya
pembeli tak akan membuat keluarga ku kenyang. Aku harus mengubur idealisme ku
ketika melihat istri dan anakku kelaparan. Pada akhirnya aku dipaksa hidup
realistis. Hingga akhirnya kalian berdua tak pernah datang lagi, pembeli
setiaku, maka kupikir sudah saatnya mengganti KEMUNG ini menjadi JAYA MERDEKA.
“
Sadira
menampakkan wajah penuh kecewa. “Kami pindah ke Yogyakarta kala itu. Maaf tak
memberitahu mu.”
Alia memasuki
kios mini itu. Dia berdecak kagum dengan dekorasinya sambil terus mendengarkan.
“ Sebenarnya,
tujuan ku mencari KEMUNG adalah untuk membeli beberapa buku disini. Untuk
memenuhi koleksi ku. Ehm maksudku, aku mau berhutang dulu. Aku memiliki
pengalaman menarik dengan semua buku-buku mu. Aku ingin membaginya dengan orang
lain. Juga untuk mendapatkan penghasilan darinya. Buku-buku mu banyak mengubah
hidup ku. Kau harus tau.” Dia duduk penuh penyesalan sambil memandang sinis
kepada buku-buku pelajaran di depannya.
Pak Harun,
sang pemilik kios, mengajaknya untuk duduk di dalam. “Andai semua pembeli
berpikiran sama dengan mu. Buku-buku ‘aneh’ ku pasti akan habis terjual. Dan
KEMUNG akan tetap menjadi toko buku yang dulu. Dan penulis-penulis itu bisa
kubantu. Mereka pun menyesal karena tidak lagi bisa menitipkan bukunya disini.
Aku turut prihatin. Menyakitkan memang ketika idealisme mu tergerus realita.”
ucapnya lirih sambil membersihkan buku Cara Praktis Mengerjakan Soal SNMPTN di
depannya.
“Orang tua
jaman sekarang menuntut anaknya untuk menggunakan otak kiri dibandingkan otak
kanan. Mereka menuntut mereka untuk pintar dengan cara yang bodoh. Albert
Einstein saja bilang imajinasi lebih berharga daripada ilmu pengetahuan. Logika
akan membawa kita dari A ke B tapi imajinasi akan membawa Anda kemana-mana.”
Ucap Pak Harun melanjutkan.
Sadira menunduk.
Dia menarik napas dalam sambil tersenyum penuh arti. Tak lama dia mengangkat
kepalanya dan menatap serius mata Pa Harun. “Aku akan melahirkan KEMUNG
kembali.” katanya penuh semangat. Alia yang menguping di belakang melemparkan
senyum kepada Sadira yang tak menatapnya.
***
“ Buku ini
masih bagus. Hanya butuh reparasi sampul di beberapa tempat. Aku tak menyangka
dia masih menyimpannya dan memberikan semuanya pada ku. Aku sungguh beruntung.
Aku sangat senang dan aku tahu semua ini akan berhasil. Taa-Daa. Kuperkenalkan
pada dunia. KEMUNG, kedai buku ku yang berisi harta karun imajinasi.” jelas
Sadira sambil mengangkat tangan ke atas dan menari-nari ballerina di atas lantai.
“Alia,
rasanya seperti ada kupu-kupu menari ke perutku. Sebuah stress respon.
Adrenalin ku benar-benar terpacu. Semangat ku over limit. Aku mulai memikirkan
untuk membuat donor semangat kepada orang lain. Dan mendapatkan beberapa rupiah
darinya. Haha.” Alia ikut tertawa sembari melanjutkan pekerjaannya.
Sepulangnya
dari Pasar Gelosadi, mereka kembali menata dekorasi kedai buku yang akan mereka
buat. Kursi-kursi
disusun berhadapan dengan meja yang membatasi di tengahnya. Kaca jendela
dibersihkan. Sadira pikir langit luar memang selalu kelabu. Ternyata tumpukan
debu yang menempel. Kursi goyang Ayah di simpan di luar dekat rumah pohon. Dia
taruh sebuah bantal diatasnya dengan hiasan perca jaitan Alia. Sebuah sofa
merah diletakkan di ruang utama. Lemari buku sudah tersusun rapi dengan
buku-buku yang diambil dari kios Pa Harun telah memenuhinya. Kotak teh milik
Sadira disimpan di atas bouqet kayu jati dengan tempelan kertas bertuliskan TAKE ME, I CAN FEEL YOU di bawahnya.
Ornamen symbol huruf mesir kuno menghiasi tembok dekat meja yang akan dijadikan
tempat kasir. Sebuah bendera Tibet yang dihibahkan dari kios Pa Harun
dibentangkan menutupi tembok putih yang lugu. Lampu redup yang menyala di
langit ruangan membuat rumah ini berkesan hangat. Kebun bunga ibu yang dia
namai menjadi Kebun Angan diubah menjadi sebuah lahan nyaman dengan karpet
piknik bermotif kotak-kotak yang membentang lebar. Rumah pohon di belakang
rumah dia pasang dengan lampu-lampu natal yang dia temukan di kamar Ayah.
Lampion yang tergantung di ranting yang menjuntai pun menjadi sentuhan terakhir
hiasan di rumah pohon itu.
“Selesai!” Mereka berpelukan penuh haru.
***
Seseorang
menyusup ke dalam rumah. Dia berjalan pelan. Mengamati rumah itu dengan
seksama. Tangannya mengambil sebuah sachet teh dan menyeduhnya. Orang itu
mengambil sebuah buku dari lemari. Berjalan ke arah luar melihat dari belakang
Sadira dan Alia yang sedang berpelukan. Dia duduk di atas kursi goyang sambil
menyeruput sebuah teh hangat.
“Apa
kabar?” Sadira dan Alia membalikkan badan. Mereka diam terpaku menatap siapa
yang ada di depannya.
“ Alia, sepertinya
kita harus berkemas.” Bisik Sadira.
Mailida, Jan 2013
Comments
Post a Comment