Skip to main content

#TheBook Chapter 6

#6
A box of tea.





Ada banyak sekali yang harus diperbaiki. Rumah ini, kursi rapuh ini, kaca jendela yang berlubang, tali tambang putus, debu yang mengepul, rumput yang tinggi, besi yang mengalami korosi dan.. ya, hati yang terluka. Terlalu banyak kerusakan yang sulit untuk diperbaiki. Darimana harus memulainya? Oh ya, menghancurkan sarang laba-laba yang sepertinya telah menciptakan sebuah dinasti disini adalah sebuah permulaan yang jenius. Ide briliant. Betul, dimulai dari sini.
“ Aku yakin laba-laba di atas situ adalah generasi yang tertua.” Sadira mengangkat sapu mencoba meraih laba-laba yang menempel di langit-langit ruangan.
“ Oh Tuhan, lihat! Sang betina datang dan mencoba menyelamatkannya dari ku. Aku bagaikan karakter antagonis di dalam hubungan mereka.” Katanya kepada Alia yang tak menghiraukannya. “ Alia, betina tersebut pasang badan untuk kekasihnya.”
“Oke, baiklah ibu betina. Kita sama-sama wanita. Aku mengerti maksud baik mu. Tapi menyingkirlah. Kurasa sudah waktunya kisah kalian ku akhiri.” Ucapnya diplomatis kepada ibu laba-laba. Pelan-pelan Sadira mendekatkan kayu sapu  kepada laba laba tersebut. Belum sampai menyentuhnya, sebuah tragedy tragis terjadi di depan matanya.
“ Laba-laba jantan keparat. Apa yang dia lakukan? Dia menyenggol istrinya hingga terjatuh ke dalam kubangan air bekas mengepel lantai. Kini dia melarikan diri ke arah lubang. Ah. Kena kau! Ah! Jangan pergi!” Sapu itu hampir saja menghantam sang laba-laba jantan.
 “Aku mendapatkan pelajaran dari sini. Bahwasanya wanita lebih banyak berkorban. Bahkan di dunia binatang. Bukan begitu, Alia?” Sadira mengambil jenazah laba-laba betina yang mati keracunana di dalam air. “Atas nama pengorbanan, aku turut berduka cita ya. Semoga kau tenang di alam sana. Titip salam untuk ayah ku di surga.” Katanya sambil memasukkan jasadnya ke dalam plastik.
Alia menahan geli melihat kelakuan Sadira. Dia melanjutkan pekerjaannya membersihkan kaca jendela di sebuah gudang tua di belakang. Gudang tua ini tak pernah dibukanya. Karena memang tak ada kunci yang cocok dengannya. Sebuah papan bertulisan harta karun menempel di depan pintu. Misterius. Gelap. Dan tak tersentuh.
Apa isinya? Kata Alia tentunya dalam hati. Sadira datang menghampiri. Dia memperlihatkan ekspresi keterkejutan. Sadira mencoba membuka pintu tersebut tapi tak berhasil juga.
“ Aneh, kenapa aku tak menemukan tempat ini kemarin-kemarin?” Sadira menghapus debu di atas papan tersebut. “ Harta karun?” Dia memandangi Alia yang juga kebingungan di depannya. Alia mengangkat bahu.
“ Aha! Mungkin ini jawaban atas kemelaratan ku selama berada disini. “ ucapnya sedikit senang. “ Ayah memang baik. “ Pintu itu dia dobrak dengan keras. Alia membantunya. Lengan mereka biru-biru hingga membuatnya berteriak kesakitan. Entah mengapa cara wanita menyelesaikan sebuah masalah kadang tidak praktis.
“Alia, linggis!” Dia langsung berlari ke dalam dapur mencarinya. Dia datang dengan membawa…. “Oh yeah. Kau bukan hanya bisu, tapi sedikit kurang pintar. Ku bilang linggis. Bukan tang” Sadira kesal. Alia memeragakan isyarat ketidaktahuan perbedaan antara linggis dan tang.
Sadira datang dengan membawa linggis di tangannya. “Kau bisa ku gaji sekarang, Alia. Berbahagialah.” katanya sambil mengayunkan pukulan linggis pertamanya. “ Dan aku, aku akan memiliki uang untuk memperbaiki rumah ini” ucapnya sedikit ngos-ngosan mengayunkan pukulan yang kedua. Pukulan terakhirnya membuat gagang pintu tersebut terbelah dua. “Dan yang terakhir, aku bisa membeli piringan hitam baru untuk mengganti piringan hitam yang telah dirampok oleh Kakek Pit!” katanya mengayunkan linggis dengan semangat hingga pintu tersebut sedikit terbuka. “ Aku lumayan juga.” Katanya bangga. Alia bertepuk tangan lalu menyuruh Sadira untuk mundur. Dengan satu tendangan kaki kiri kini pintu itu telah terbuka sempurna. Sadira berdecak kagum atas kekuatan Alia.
Pintu itu terbuka perlahan, lampu yang mati membuat gudang tersebut menjadi gelap. Dia mengambil senter untuk meneranginya. Sadira dan Alia saling bertatapan atas apa yang dilihatnya di dalam sana.
“ Buku?”
Sebuah ruangan berisi tumpukan buku mengelilingi mereka. Tumpukan tersebut menggunung dan berundak. Buku-buku tersebut tak tersusun rapi. Jumlahnya ratusan dan sudah menguning tak terurus. Tidak ada lemari yang menyanggahnya. Buku-buku tersebut dibiarkan berserak begitu saja. Sadira mendekatinya dengan penuh rasa kecewa.
“Mungkin, mungkin disini” Katanya sambil mengobrak-abrik. “Pasti ada emas yang terselip” lanjutnya. Alia dengan sigap membantu mencarinya.
Buku karangan Rose Treamain, Julia Quinn, Marcia Willet, hingga Fiona Walker berserakan dimana-mana. Mereka tak menemukan apa-apa selain buku. “Lalu-Dimana-Letak-Harta-karun-itu?” Sadira duduk di atasnya sambil memijat-mijat kepala yang pening rasanya.
“Tidak, aku tak akan menyerah. Pasti ada di sekitar sini. Jika tidak ada emas mungkin beberapa lembar uang yang bisa ku- ” Pandangannya terhenti pada sebuah buku karangan Dr. Abhijat Gutpa yang berjudul Jangan berusaha lebih keras, menyerahlah. Sadira menggeleng dan tak menghiraukannya. “Tidak, Dr.Gutpa. Aku tak akan menyerah!” Katanya sembari melemparkan buku tersebut. Dia tetap mencari ke sela-sela buku yang lain, membongkar satu persatu hingga terbatuk-batuk karena debu. Alia meraih buku tersebut yang terbuka tepat di halaman 101.
Jika kau menghantamkan kepala mu ke pintu, maka yang kau dapatkan hanyalah kepala yang sakit.
Buku tersebut merupakan prinsip ajaran Zen yang membantu manusia untuk mulai menyerah dan melepaskan sesuatu ketika sudah berada di kondisi paling sulit.
Seperti cara kerja Tuhan mengabulkan sebuah doa. Jalan keluar dan kemudahan akan muncul ketika sesuatu sudah berada di posisi menghimpit dan terletak di titik paling bawah. Tuhan tidak bermaksud menyulitkan kita. Dia bermaksud untuk menyempurnakannya. Seperti ini, mungkin. Rasa makanan akan terasa benar-benar lezat jika kita sudah benar-benar lapar. Jadi, jika kita telah merasa bahwa semua terasa buntu, menyerah dan bersabarlah. Itu tanda bahwa sesuatu yang baik akan segera datang.
Alia mendekati Sadira. Memperlihatkan isi buku tersebut. Sadira yang memusatkan pikiran dan tenaga untuk mencari harta karun yang dia maksud langsung menghentikan pencariannya setelah membaca bukunya.
“Terkadang kau benar, Dr. Gutpa” Katanya menyerah.
Menyerah adalah jalan awal menuju perjalanan yang benar.
Sadira melamunkan kalimat yang berada di dalam buku tersebut. Tangannya sibuk mengaduk secangkir teh jahe hangat, sementara otaknya sedang mengaduk beberapa potongan kejadian yang terjadi pada dirinya akhir-akhir ini.
“Alia? Kau percaya akan sebuah kebetulan?”
Alia yang mendengar namanya dipanggil langsung datang menghampiri Sadira. Dia pun membuat secangkir teh rasa limun. Alia memberikan kode untuk mereka berbicara di teras luar.
Letih, seharian mereka menghabiskan waktu untuk membersihkan rumah ini. Serbet yang masih menempel di pundak dan kemoceng yang menempel di sisi celana adalah atribut yang sedang mereka kenakan.
“ Entah aku harus memulai darimana. Terlalu banyak yang ingin aku ceritakan padamu. Teh apa yang kau buat? Kau pecinta teh juga?” Alia tersenyum dan mengangguk.
“ Aku lupa. Kau hanya bisa angguk dan geleng. Bodoh sekali aku bertanya pada mu.” Sadira mengambil teh buatan Alia. Dia menyeruputnya sedikit. “Teh limun.” Katanya pelan. “Persahabatan.“ Sadira melemparkan senyum kepada Alia.
“ Buat ku, teh bukan hanya sekedar minuman. Teh adalah mediator perasaan. Tunggu disini. Akan kutunjukkan sesuatu” Sadira mengambil sebuah kotak besar dari dapur. Di dalam kotak tersebut ada beberapa jenis teh dengan beragam rasa.
“Sini kuberi tahu. Teh hijau adalah pencarian damai. Teh jahe merupakan penyelaras ketidakberaturan. Teh susu adalah hangat keluarga.  Teh melati adalah penyerap rasa sakit. Teh gingseng adalah kebijaksanaan. Dan teh limun,  persahabatan. ” ucapnya menunjukkan satu-satu.
“Sementara teh tawar merupakan isyarat kehampaan. Teh yang hanya dicampur dengan gula adalah sebuah kesibukan.” Sadira menjelaskan.
“Kau pasti bertanya apa dasar yang membuatku memberikan mereka nama. Yah, aku tau pasti kau ingin bertanya itu.” Alia mengangguk.
“ Sepertinya aku mulai mahir membaca pikiran mu.” Katanya sambil mengibaskan rambut yang terurai.
“Dia yang menamainya. Seorang sensei di Yogyakarta. Dia pernah menjelaskan padaku bahwa pucuk teh di petik oleh tangan seorang ibu. Kau tau kan, ibu adalah penyerap rasa di keluarga. Apapun yang terjadi di dalam keluarga dia lah penampungnya. Dia bisa merasakan apa yang tersembunyi. Mengetahui apa yang di bungkam. Hatinya jujur. Hangat. Menenangkan. Cara kerja teh itu seperti seorang ibu. ”
“Setiap akan meminumnya, dia menyuruhku memejamkan mata. Dan tangan ini lah yang memilih rasa apa yang sesuai dengan keinginan hati ku. Dan itu selalu benar. Teh itu mengetahui apa yang aku butuhkan dan aku rasakan. Akhirnya aku mempercayainya. Oh, aku jadi rindu ibu ku.” Mata Sadira melolong ke depan membayangkan bagaimana kondisi ibu nya sekarang.
 Ada satu teh yang belum di jelaskan oleh Sadira. Alia mengambilnya dan memberikan isyarat untuk meminta penjelasan tentang artinya.
“ Teh chamomile. Hingga saat ini, tangan ku belum pernah memilihnya. Sensei itu bilang bahwa teh ini tak terdefinisi. Hanya orang yang telah memilihnya lah yang akan mengetahui. Jadi aku belum tau apa artinya. ”
Pagi ini Sadira bercerita banyak tentang dirinya kepada Alia. Tentang rumah ini, tentang Dru, tentang rasa sakitnya, tentang ayahnya, semua. Dia menjelaskan semuanya tanpa jeda. Ya, pasti tanpa jeda. Sadira hanya berkomunikasi satu arah. Memang, siapa yang akan menjeda? Terkadang memang ini yang dia butuhkan. Bukan teman yang sibuk ikut berbicara, tapi teman yang sigap mendengarkan.
“ Aku sudah kehabisan kata menceritakan tentang diri ku. Andai aku bisa tau lebih jauh tentang mu juga.” Alia menunduk sambil tersenyum penuh arti.
“Oh ya, apakah kau percaya akan sebuah kebetulan?” Alia mengarahkan pandangan tanda setuju.
“ Setiap hal di kehidupan kita ini tak berdiri sendiri. Mereka saling keterkaitan. Kita saja sebagai manusia yang memiliki kepekaan rendah. Aku percaya bahwa ada sebuah benang merah transparan yang menyambungkan antara satu hal dengan hal lainnya. Kita tak pernah menyadari hingga mengalaminya sendiri. ”
Sadira mengambil buku Dr.Gutpa di sebelahnya.” Seperti ini.” Katanya sambil menunjukkannya kepada Alia.” Dari sekian banyak buku yang ada, mengapa buku ini yang harus terbaca. Buku yang membuat ku tau apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Tuhan selalu memberikan jalan melalui cara yang tak terduga. Ini bukan sebuah kebetulan. Tapi takdir.”
  “ Dr. Guptha, kupikir aku mulai menyukai mu. Kau membuat ku berpikir.” Lanjutnya sambil memeluk buku tersebut.
Alia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari saku nya. Dia menulis sesuatu cukup lama. Sadira memperhatikannya. Menunggu apa yang sedang dibuatnya.

Kakek Pit adalah contoh selanjutnya. Jika kau tidak bertemunya di jalan, kau tak akan sampai hingga sini. Lagi, dari sekian banyak manusia disana, mengapa kau harus bertemu dengannya? Itu bukan sebuah kebetulan. Tapi juga takdir. Sebelumnya, senang mendengar cerita mu. Sadira.

Sadira membacanya. Dia menyimpulkan bibirnya. Alia membalas tatapan Sadira dengan mata binar yang tulus. “ Aku seperti bisa mendengarkan suara mu ketika membaca tulisan ini. Terimakasih” Ucapnya.
“ Lalu sensei itu. Teh ini. Setiap makna di dalamnya. Rasa yang kupilih. Perasaan yang sedang dialami. Apakah itu sebuah kebetulan? Tidak.” Katanya semakin yakin.
“ Alia..” Katanya pelan. Sesuatu telah mengusik benaknya.
Dia menoleh ke arah Sadira. “ Aku sedang memikirkan sesuatu. Ini terbersit begitu saja. Sebuah jalan keluar.” Sadira berbicara penuh keyakinan. “Buku-buku, Dr. Gutpa, takdir, rumah ini, kotak teh, aku tau ini akan berhasil” Alia kebingungan. “ Tuhan telah memberikan jalan” Alia makin kebingungan.
“Ah sudahlah. Ikuti saja rencanaku.” Katanya sambil memukul pelan lengan Alia. Teh jahe hangat yang masih penuh dia buang ke atas rumput. Sadira meraih teh limun milik Alia. Dia membaginya menjadi dua.
“Persahabatan!” Katanya mengacungkan gelas. Alia menyambutnya. Walau masih dihantui dengan kebingungan.

Comments

  1. What a great the end of this chapter
    it makes other people who already read it can't wait to read the next part of Sadira's stories
    Sometimes it makes me (the reader) try to figure what is gonna happen to Sadira. Will she end up with a happy ending or sad?

    I'm here from US really love to read this, but could you write sadira's stories in English so people here can understand it...

    Hey, may be someday you can write the whole story about Sadira and become New York best time seller... Amin...

    Keep it Up Mailida (:

    ReplyDelete
  2. What a great the end of this chapter
    it makes other people who already read it can't wait to read the next part of Sadira's stories
    Sometimes it makes me (the reader) try to figure what is gonna happen to Sadira. Will she end up with a happy ending or sad?

    I'm here from US really love to read this, but could you write sadira's stories in English so people here can understand it...

    Hey, may be someday you can write the whole story about Sadira and become New York best time seller... Amin...

    Keep it Up Mailida (:

    ReplyDelete
  3. Thank you del. It such an honour for me. :D
    Hmmmm. I should set my grammar good to write the whole story in english. Haha. But good idea, i try someday :D

    What is gonna happen to Sadira? You'll now in the end. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengatur Belanja Seminggu

Selama saya menikah, pengeluaran yang gak kekontrol itu pengeluaran makan. Awalnya, sebelum bikin meal preparation setiap minggunya, yang saya lakukan adalah belanja ke pasar setiap hari pulang kantor ((( setiap hari )))).  Dan itu boros banget. Mana sisa makanan pada kebuang karena busuk. Belum lagi sayur yang gampang layu dan gak bisa diolah. Yah.....namanya juga learning by doing ya. Akhirnya saya nemu cara belanja yang jauh lebih efektif, efisien, dan ekonomis. Namanya meal preparation . Dilakukan seminggu sekali dan disimpan dengan baik ke dalam storage box. Sekarang jadwal wajib saya setiap minggu pagi adalah ke pasar tradisional atau pasar modern diantar abang. Beli sayur dan lauk untuk keperluan seminggu ke depan. Dan tau gak sih, ternyata kalau kita well planned, pengeluaran makanan bisa sangat efisien. Manfaat yang saya dapet itu,  Bahan makanan pas habis dalam seminggu hampir tanpa sisa yang kebuang Hemat waktu dan hemat energi Pengeluaran makan gak boros Lebih

Pesan Moral Manusia ½ salmon

Beberapa menit yang lalu saya baru aja selesai baca buku nya raditya dika yang baru yang judulnya manusia setengah salmon. Awalnya agak sinis ama isi buku ini. Saya pikir, “Ah paling buku humor guyonan biasa aja. Ala raditya dika aja lah gimana. Lumayan lah buat cekakak cekikik. Itung-itung hiburan.” Saya pun sempet nyesel sebelum membaca buku itu secara keseluruhan. Tau gitu beli buku lain yang lebih bermutu. Yang lebih berat. Yang kontennya ‘lebih pintar’. Pikir saya. Ibu saya pun sempet nanya pas saya mau bayar ke kasir. “ Jadinya beli buku itu? Ngasih manfaat gak?” Di dalem hati saya menjawab. Let me see. Setelah beberapa hari buku itu terbengkalai, akhirnya saya baca juga ampe selesai. Emang sih banyak banget cerita yang bikin saya cekakak cekikik ampe ketawa-ketawa sendiri. Ok, it’s so raditya dika. Saya gak kaget. Hingga akhirnya saya berada di chapter terakhir buku ini. Chapter yang bikin saya mengemukakan pertanyaan monolog di otak saya. Is that you, raditya dika

Bahagia & Dian Sastrowardoyo

Apa itu bahagia? Semua orang menginginkannya. Hari ini saya mendapatkan sebuah pelajaran lagi tentang apa itu bahagia. *** Sebuah wawancara, Hitam Putih – Dian Sastrowardoyo “ Aku itu ambisius banget. Aku itu banyak mau. Tapi ternyata aku baru sadar dunia ini lebih enteng kalau kita gak terlalu ambisius-ambisius amat. Karena I have everything that I want to ternyata.” Waktu hamil, karirnya sedang berada di puncak. Awalnya agak menyalahkan kehamilan ini, tapi setelah syaelendra lahir dia bahagia sekali. Jika dirunut kebelakang, Dian adalah seorang yang ambisius dari kecil. Menurutnya, definisi ambisius adalah focus dan determine banget untuk mencapai apa yang dia mau. Dari umur 10 tahun dia sudah ingin sekolah di luar negeri more than anything in the world. Di umur segitu dia melakukan riset bagaimana caranya mendapatkan uang banyak agar bisa membiayai sekolahnya di luar negeri. Ternyata menjadi artis adalah salah satu cara untuk mendapatkan uang banyak karena ibunya