#3
The Journey
“Bantal
kak?” Sadira menggeleng. Petugas kereta api meninggalkannya. Sampai sekarang
dia masih tidak mengerti kemana dia akan pergi. Dimana tempat itu. Bagaimana
dia tinggal. Dengan siapa dia disana. Pikirannya kosong tak mampu untuk
berpikir. Rasanya seperti dihisap dementor di film Harry Potter. Mata yang
selalu tertuju pada satu titik, wajah tanpa ekspresi, gema suara dialog masa
lalu yang memekakkan telinga, itu lah dia hari ini.
Seperti
kehilangan penglihatan spectrum warna, yang dia liat hanya hitam dan putih. Terdengar
suara tangisan, pekik keras seorang wanita, dan sekelibat memori-memori yang
beterbangan di benaknya. Bayangan bias menyenangkan seketika berubah menjadi suatu
adegan menakutkan. Bingung. Dia menahan rasa sakit di kepalanya.
Cukup! Cukup! Air mata
nya mengalir seperti tak sanggup menahan beban batin yang menyesakkan. Dia
pejamkan matanya lalu tertidur.
Dibelakangnya
terdengar sayup-sayup suara anak kecil yang merengek kepanasan, seorang paruh
baya di kursi samping sedang membaca koran. Sekelompok remaja yang menggendong
ransel besar sedang asik bercengkrama tentang rencana travelingnya. Seorang
nenek sedang dituntun menuju kamar mandi oleh cucunya yang santun. Tak ada yang
peduli dan tak ada yang tahu gejolak batin yang sedang dirasakan oleh Sadira.
Dia tertidur sambil mengenakan earphone yang tidak terhubung kemana pun.
&&&
Sudah sampai? Pandangannya
memutar mengamati setiap perubahan. Dia mengusap-usapkan lengannya. Mengambil
jaket lalu mengenakannya. Aku tau ini
Bandung.
Dia menyetop
sebuah taksi. “ Selamat malam mba, mau kemana?” Kata si sopir. “Kemanapun”
jawabnya datar. Seakan sudah terbiasa dengan penumpang yang aneh seperti itu,
sang sopir menekan tombol argo dan melaju entah kemana.
“Darimana
mba?”
“Yogyakarta”
Yogyakarta. Katanya diulang dalam hati. Ini
seperti mimpi untuknya, keputusan untuk meninggalkan tempat kelahirannya memang
cukup singkat.
Taksi yang
dia tumpangi sampai di pelataran jalan dago. Disini saja pak. Ucapnya. Setelah membayar argo taksi, dia keluar
lalu duduk terdiam di atas trotoar. Matanya seakan dimanjakan dengan lampu
mobil yang berseliweran. Suara para pengamen dengan petikan gitar yang mengalun
membawanya ke dalam suasana syahdu. Sebuah televisi besar di pinggir jalan yang
menayangkan sebuah iklan produk menghiasi malam pertamanya di kota ini.
Dia tak
memikirkan dimana dia tidur hari ini, yang dia tahu, kehampaannya sedikit demi
sedikit mulai terisi dengan harapan baru.
&&&
Seperti kehilangan waktu, tak sadar bagaimana dia sudah berada
disini. Dia terbangun di sebuah masjid dekat perguruan tinggi ternama. Perutnya
merongrong minta diberi makan. Dia keluar meninggalkan tempat itu lalu mencari
sarapan.
“Bu, buburnya satu.”
“Ladaan neng?”
Sadira mengernyitkan dahinya. Ibu penjual bubur menunjuk pada
sambal cair di depannya. Dia baru mengerti.
“Jangan banyak-banyak bu”
Lalu setelah ini kemana lagi? Dia mengambil sobekan kertas alamat
yang sudah dia catat. Memperlihatkannya kepada sang penjual bubur berharap
mengetahui dimana tempat itu berada.
“Oh, windarome mah di daerah cimbeuleuit neng. ” Setelah menjelaskan secara
rinci dimana tempat tersebut, Sadira bergegas untuk pergi. Dia taruh mangkuk
bubur dan membayarnya.
“Neng..neng..” Ibu
penjual bubur berlari menahan kepergian Sadira.
Seakan tau apa yang
dikejarnya, Sadira hanya melambai kepadanya.
“Ambil saja
kembaliannya ” Dia sedikit berteriak dan menjauh.
Lagi-lagi dia
berjalan sendirian. Menikmati hembusan angin kota Bandung. Kakinya tak lagi
bisa merasakan pegal. Dia berjalan memutar tanpa tau arah tujuan. Kakinya
melangkah mengikuti kata hati. Jika ingin ke kanan, maka dia ke kanan. Jika ke
kiri, ke kiri lah langkahnya. Instruksi dari sang penjual bubur tak dia
hiraukan. Sadira berjalan kaki sesuka hatinya. Mengamati setiap kegiatan
manusia yang dilewatinya. Pedagang gorengan yang sedang memakan gorengannya
sendiri, seorang ibu yang sedang melindungi anak bayinya dari terik matahari,
penjaga toko yang sedang melayani pembeli, sekumpulan pemuda yang bermain catur
di pangkalan ojek, dan dua remaja yang sedang bersenda gurau menikmati indahnya
jatuh cinta.
Hah! Katanya kesal. Tau apa mereka tentang cinta? Orang yang bisa membuat mu
bahagia hari ini adalah orang yang sama yang akan membuat mu menangis nantinya.
Lihat saja! Katanya mengutuk skeptis.
“Saya bisa sendiri!”
Tiba-tiba teriakan
seorang kakek tua mengalihkan pandangannya. Orang-orang sekitar mencoba untuk
membantu dia berjalan namun bapak tua tersebut menolak dengan lantang.
Tongkatnya menjadi
penyanggah langkahnya yang ringkih. Rambutnya yang memutih ditutupi oleh topi hitam
dengan bordiran lambang angkatan darat Indonesia. Diam-diam Sadira mengikuti. Sang
kakek mengingatkannya pada Ayah yang telah meninggal. Dadanya sesak kembali.
Sekelumat memori tentangnya melayang di dalam benak Sadira. Wajah sang kakek
berubah menjadi wajah ayahnya. Dia menggelengkan kepala menampik apa yang
dilihatnya.
Sadar dia diikuti,
kakek tersebut membalikkan badannya.
“Jangan macam-macam.
Aku sudah mau mati sebentar lagi. Tak usah repot untuk mengambil harta ku dan
mencoba membunuhku”
Sadira terhenyak. Dia
melihat dirinya yang lusuh dari atas hingga bawah. Tak heran jika kakek
tersebut berpikir yang tidak-tidak.
“ Apa? Yang benar
saja! Aku hanya.. hanya…” Sadira pun tak memiliki kata yang tepat mengapa dia
mengikuti kakek tersebut.
“Emm. Aku hanya mau
menanyakan alamat! Ya, alamat” Segera dia ambil sobekan kertas yang berisikan
alamat tersebut.
Dia menyerahkan nya.
Sang kakek memicingkan mata berusaha melihat dengan jelas alamat di kertas
tersebut. Tangannya merogoh saku celana. Mengambil kaca mata lipat lalu
membacanya.
Jl. Windarome 8
Sekali kakek tersebut melirik ke arah ku. Kedua kalinya dia
melihat ku dari mulai ujung kaki hingga ujung kepala. Tatapan ke tiga dia
melihat mata ku dalam.
“Kau, kau siapanya Galang?” Kakek tersebut bertanya terbata-bata
seperti sudah tahu jawabannya.
“Kau tau ayah ku?” Katanya heran.
“Sadira?” Katanya tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
“Sekarang kau tau namaku” Katanya memicingkan mata.
Kakek tersebut membawa Sadira ke alamat itu. Di sepanjang jalan
dia tak henti-hentinya menanyakan keberadaan Galang yang sekarang. Menitipkan
salam dan bercerita betapa indah persahabatan mereka dahulu. Dia tak memberikan
Sadira kesempatan berbicara hingga akhirnya dia terdiam ketika Sadira mengatakan
bahwa ayah telah tiada.
“Dia selalu lebih cepat dari ku. Termasuk kematian.” Katanya
merendahkan suara. Terasa ada hati yang pilu.
Sadira menitikkan air mata. Kenangan bersama ayahnya membuat
dia kembali hampa.
“Hey”
“Hey? Kau panggil aku hey? Panggil aku kakek Pit!”
“Yea, kakek Pit. Alamat itu rumah ayah ku?”
Dia mengangguk.
Sepanjang
jalan mereka tak saling bicara. Kakek Pit seperti sedang mengumpulkan serpihan
rasa tak percaya. Sementara Sadira menghirup udara yang dulu dihirup ayahnya
disini.
“Aku
rindu” Tak sadar mereka berbicara serempak dan saling memberikan senyum.
&&&
Sebuah
rumah tua bergaya Belanda berdiri kokoh di hadapannya. Kakek Pit mengajaknya
masuk. Sadira tak henti-hentinya berdecak kagum melihat rumah semegah itu. Dia
mulai berpikir darimana ayahnya mendapatkan uang untuk membeli rumah sebesar
ini.
“Aku tidak
pernah tau kalau ayah ku se kaya ini”
Kakek Pit
menaruh tongkatnya disamping beranda. Dia duduk di depan teras sambil
menyalakan cerutu. Persis Ayah Sadira.
“Ini rumah
ku” Katanya.
Sadira tak
bisa menyembunyikan rasa malunya.
“Jadi
dimana rumah ayah ku?”
Seorang
wanita tua keluar dari pintu. Wajahnya penuh keriput tapi parasnya masih
cantik. Terdapat tahi lalat di pipi kiri. Dia mengenakan sweater yang terbuat
dari rajutan kain wol. Masih mengenakan celemek masak dan menatap Kakek Pit
seakan penuh tanya: “Siapa wanita ini?”
Kakek Pit
memperkenalkan Sadira kepada istrinya. Dia menjelaskan pertemuan dengan Sadira
dan latar belakang dirinya.
“Kamu anak
Galang? Sadira? Dulu kau pernah kemari. Sewaktu masih kecil. Aku turut berduka
atas kepergian ayahmu.”
Sadira
hanya mengangguk. Dia mengalihkan pandangan dan menampakkan ekspresi kau-belum-menjawab-pertanyaan-ku-hai-kakek-tua.
Lelaki tua
yang sudah renta itu berusaha sekuat tenaga untuk beranjak dari kursinya. Dia
menghela napas dan membawa Sadira ke tempat yang dia inginkan.
“Aku ini
sudah tua renta. Biarkan aku beristirahat sebentar. Gunung tak akan lari kau
kejar. Rumah mu tak punya kaki, dia tak akan pergi. Anak muda jaman sekarang memang
tak sabaran!”
Kakek Pit mengomel
sepanjang jalan. Sadira mengikutinya dari belakang. Lelaki tua tersebut
membawanya ke arah belakang rumah. Mendaki sedikit tanjakan menuju bukit. Di kanan
kiri jalan berjejer pepohonan. Suasana menjadi lebih dingin. Langit yang sudah
mulai senja memberikan kesan dramatis perjalanan ini.
“Ini,
rumah mu..”
Sadira
melihat bayangan ayahnya tersenyum di atas awan seakan mengucapkan selamat
datang. Dia berlari menuju rumah itu. Sadira membalikkan badan kepada Kakek Pit
yang tersenyum haru kepadanya.
“Aku ingat
sekarang, kami pernah tinggal di rumah ini” Katanya pelan. Kakek Pit
mengiyakan. Dia mengajak Sadira masuk lalu menyodorkan tangannya meminta
sesuatu. Sadira memperlihatkan tampang bingung, Kakek Pit menepuk jidatnya lalu
memeragakan kunci yang terbuka.
Segera dia
rogoh tas selempangnya dan langsung mengambil barang yang Kakek Pit maksud.
“Ini..” Katanya sigap.
Pintu yang
sudah berdebu dan lapisan karat yang telah mengelupas mulai terbuka. Sarang
laba-laba menempel dimana-mana. Sadira berputar berkeliling. Membersihkan
beberapa peninggalan keluarganya. Dia berlari menuju halaman belakang. Terlihat
pemandangan senja yang sebentar lagi berganti dengan malam. Sadira melihat
bayangan ayah dan dirinya sedang berlari-larian di atas rumput. Sadira kecil
yang mengenakan baju baby doll digendong dan dilempar-lemparkan ke atas sambil
tertawa riang.
Wajahnya
berubah muram dan air mata mulai menetes satu demi satu. Badannya yang ringkih
mulai mendekat dan memeluk Kakek Pit.
“ Hari ini
kau tinggal di rumah ku saja” Katanya sambil mengelus punggung Sadira.
“Tidak.
Aku harus disini. Ayah meminta ku.” Sekejap Sadira langsung melepaskan
pelukannya.
Comments
Post a Comment