#2 Where is the good in goodbye
Lautan
hitam. Bendera kuning.
Rundung
duka menyelimuti salah satu rumah di kota Yogyakarta. Karangan bunga turut
berduka cita berjejer memenuhi jalan. Mendung yang kalut mendramatisir kejadian
hari itu. Tak ada yang tak terkejut. Terlihat para pelayat kesana kemari
mencari informasi tentang kronologis kematian tersebut. Mereka saling
menguatkan satu sama lain dan berpelukan menangisi kepergian orang yang mereka
cintai.
Di ujung
sana. Seorang wanita turun dari mobilnya berjalan lunglai menuju rumah duka.
Masih mengenakan setelan kantor lengkap dengan make up yang masih menempel
diwajahnya. Mukanya kebingungan. Menerka-nerka siapa yang telah pergi
meninggalkannya.
Ayah, ibu,
adiknya, atau siapa?
Wanita
tersebut tidak bisa menahan sesak di dadanya membayangkan salah satu anggota
keluarganya telah pergi. Langkahnya melambat. Semua orang mendekat
menepuk-nepuk pundaknya. Memberi kekuatan agar wanita tersebut sabar menghadapi
takdir Tuhan yang pasti ini.
Jawablah pertanyaan di bawah ini.
1. Siapakah
yang meninggal?
A. Ayah
B. Ibu
C. Adik
Tapi ini
bukan multiple choice dimana dia bisa
dengan gampangnya memilih salah satu diantara setiap jawaban yang ada. Di
benaknya dia berharap ada satu lagi pilihan jawaban.
D. Semua jawaban salah
Hampa.
Seperti ada ruang kosong di dalam hatinya. Luas sekali. Ramai tapi dia merasa
sendiri. Entah kemana badan ini membawanya. Semakin lama semakin lemas. Hingga
tak sadar langkah wanita tersebut sudah menggiringnya menuju depan pintu rumah.
Suara
lantunan ayat kursi memekakan telinga dan menusuk pekik ke dalam hati. Matanya
memutar mencari anggota keluarganya.
Itu adikku.
Kini
pandangan itu tertuju pada seorang gadis belasan yang sedang menangis
sesenggukan. Memeluk bi darsih yang juga air matanya mengalir tak kalah deras.
Jadi, bukan dia.
Lalu.. Ayah? Atau.. ibu?
Pandangannya berakhir di depan sesosok mayat
yang sudah terbujur kaku ditutupi kain batik berwarna coklat. Semua orang kini meratapinya
penuh rasa iba. Siapakah sosok di balik kain coklat tersebut? Dia tak berani
menerka-nerka.
Hingga
akhirnya suara tangisan ibu menjawab semuanya.
&&&
“ Ini
peninggalan terakhirnya untukmu ”
Ibu
menyodorkan sebuah kotak tua yang sudah berdebu. Sadira yang masih berduka atas
kepergian ayahnya tidak menggubris barang tersebut.
“Simpan
saja disitu bu” Katanya tanpa menoleh sedikitpun.
Wanita tua
berparas jawa kental yang sekarang duduk di sebelahnya mengusap-usap punggung
anaknya tersebut dan pergi meninggalkannya. Begitulah menghadapinya, tinggalkan
dan biarkan dia berpikir dengan dirinya sendiri.
Hampir
satu jam semenjak suara pintu kamar yang tertutup. Sadira tetap di atas
kasurnya meresonansikan kenangan bersama Ayahnya yang dia pertahankan untuk
selalu tersimpan.
Bayang-bayang
sosok ayahnya tergambar dengan jelas di benaknya seperti sebuah film dokumenter
kehidupan yang diputar kembali.
Aku masih ingat caranya menyalakan cerutu di
pagi hari. Menghembuskan asap nya keatas langit sambil memejamkan mata. Aku
rindu cerita Mahabrata dan Ramayana yang selalu dia ceritakan pada ku. Aku
rindu semangat yang dia tularkan padaku. Aku rindu saat dimana kami menonton
televisi bersama dan memberikan komen untuk setiap berita-berita bodoh.
Aku rindu cara nya bertutur “oalaah”. Aku
rindu lagu jawa yang selalu dia senandungkan. Aku rindu saat dimana setiap
sabtu malam kami menonton pertunjukan goro-goro. Aku rindu sentuhan lembutnya
di kepala ku.
Dru.
Sadira
butuh Dru.
Dia membongkar
laci di samping kasurnya, mencari telepon genggam yang dia cari. Dia banting
laci tersebut karena apa yang dia cari tak ditemukannya. Semua sudut kamar dia
geledah. Tangannya sibuk mengobrak-abrik kasur dan selimut yang ada di atasnya.
Badannya masuk ke bawah kolong kasur berharap dia menemukannya. Hampir putus
asa, dia merebahkan badannya di atas kasur lalu kembali menarik dirinya untuk
mencari.
Dalam
keadaan panik dan air mata yang masih mengalir dia tidak menyadari bahwa
telepon genggamnya berada di atas televisi.
“ Itu dia”
Dengan
sigap Sadira meraih telepon genggamnya dan mencari nomor Dru yang akan dia
hubungi. Namun telepon genggamnya mati. Baterai yang tak terisi berhari-hari
tidak mungkin melakukan panggilan keluar.
“ Longor!”
*Bodoh*
Belum
sempat dia menghubungi lelaki tersebut, mata Sadira tertuju pada sebuah kotak
tua berdebu di samping televisi. Dia mengernyitkan dahinya sambil
mengingat-ingat kalimat yang ibu ucapkan tadi pagi.
…..peninggalan terakhirnya untukmu.
Peninggalan
terakhir? Dengan ragu dia meraih kotak tersebut. Membukanya perlahan lalu
menutupnya kembali. Begitu saja terus. Seakan kotak tersebut adalah kumpulan
kenangan yang menyimpan memori indah. Ingin tapi tak sanggup.
Dia
beranikan diri untuk melihat apa isi dari kotak tersebut. Sedikit demi sedikit
celahnya terbuka hingga akhirnya dia mengetahui isi dari peninggalan terakhir
ayahnya.
Sebuah
kunci dan sebuah surat.
Kunci apa ini?
Pertanyaan pertama yang ada di benaknya. Surat?
Nada ragu terlontar dari bibirnya.
Rasa
takutnya berubah menjadi rasa penasaran yang mendalam. Dia buka perlahan surat
tersebut lalu segera membacanya.
Untuk anak ku,
Sadira Aluna Laya.
Pertemuan kita dimulai
saat kau membuka mata beberapa tahun yang lalu dan perpisahan ini terjadi beberapa
tahun setelahnya ketika aku mulai menutup mata. Itulah jarak kebersamaan kita.
Aku beritahukan
sebuah rahasia: Perpisahan tak akan menyakitkan jika pertemuannya diawali
ketika menutup mata.
Kau akan mengerti, disini.
Jl. Windarome No 8 Bandung
Tidak ada yang
lebih menyayangi mu,
Ayah.
Tangannya bergetar
tak sanggup membayangkan bahwa tulisan tersebut tertoreh dari tangan seorang
tua sesaat sebelum menjemput ajal. Dia endus setiap atom partikel dan debu yang
menempel di sana. Berharap sisa jejak sidik jari nya yang menempel bisa
menyembuhkan kerinduan pada sang ayah.
Dia
genggam dengan erat surat tersebut. Pilu ini tak sanggup dia tahan sendiri.
Sadira memandanginya berulang kali sambil meraih telepon genggam disampingnya. Aku butuh Dru.
“ Dru..”
“Dru?”
“Mengapa
kau menelepon ku lagi? “
“Maksudmu?”
Sadira mengernyitkan dahinya.
Ada jeda
diam diantara mereka cukup lama. Kemudian Dru menyuruhnya untuk membuka pesan
singkat di handphone nya. Sadira segera mematikan handphone nya dan membaca beberapa
pesan tersebut yang ternyata baru masuk dan dikirim beberapa hari yang lalu.
Permainan ini aku usai kan hari ini. Goodbye.
Message
Received. 05 July 2012 18:90
Pasti kau sudah merasa sangat sakit sekarang.
Hahaha.
Message
Received. 05 July 2012 19:50
Sadira menarik napas. Ayah benar, pertemuan
yang diawali dengan membuka mata akan berakhir menyakitkan.
&&&
Satu
perpisahan saja sudah menyakitkan. Lalu bagaimana jika dua? Rasa sakit atas
kepergian dua orang yang dia cintai membuatnya tak sanggup membayangkan
bagaimana harinya kedepan nanti. Rasa sakit yang dirasakan dengan rasa sayang
terhadap seseorang memang bergerak linier. Semakin sakit, semakin sayang. Kita
belum bisa dikatakan mencintai seseorang sangat dalam hingga kita mencoba
sekuat tenaga untuk menghilangkan kenangannya, ingatan bersamanya, dan segala
hal tentang dirinya.
Sadira
membaca kembali alamat di surat tersebut. Dia mengambil secarik kertas lalu
mencatatnya.
Kadang
kala yang harus kita lakukan memang pergi. Walaupun kita tidak tau kemana harus
pergi. Yang penting, pergi!
&&&
Ibu tak
bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Alanda terus-terusan merengek dan menahan
Sadira untuk tidak pergi. Ruang tamu di malam itu semakin kelabu. Rumah ini
akan kehilangan lagi salah satu penghuninya. Keputusan Sadira sudah bulat.
“ Bu,
izinkan aku”
Ibu
terdiam.
“ Mba,
ntar aku sama siapa?”
Sadira
terdiam.
Ini memang
dilema yang cukup besar.
Mereka
berdialog bisu. Saling tatap tanpa ada kelanjutan pembicaraan. Alanda
menyenderkan kepalanya di bahu Sadira. Dia tak bisa membayangkan hari-harinya
tanpa kehadiran wanita yang pernah berada di dalam rahim yang sama. Ibu menarik
badannya mendekati sang sulung. Dia memeluk mereka berdua sambil mengusap-usap
kepala nya.
“Pergilah
nak, kau sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan”
Mereka
mempererat pelukannya. Sadira melakukan perpisahan tiga kali.
Mailida, September 2012
Mailida, September 2012
Yaaayyyy hore di post juga akhirnya, katanya ga akan... hahaha :P
ReplyDelete