#10
Utopia
Mereka
berdua duduk berhadapan di dalam ruang kosong berwarna putih. Gasta memutar
bangkunya terbalik. Lelaki tua di depannya yang selalu menghisap cerutu menyilangkan
tangan. “Dia telah mengetahui identitas mu. Si bisu itu akan membongkar
semuanya.”
Gasta
memilih untuk tidak berkomentar. Dia membanting bangku dan mengambil dengan
paksa cerutu lelaki itu. Dia menghisapnya dengan panik lalu mengembalikannya
kembali. “Jika dia menyadari identitas mu, maka kita semua akan lenyap.” Lanjut
lelaki itu.
Seorang
gadis muda yang selalu menenteng boneka kelinci di tangannya menghampiri
mereka. “Aku tidak mau pergi. Aku senang berada disini!Kumohon.” Dia merengek. Gadis
muda itu memandang nanar Gasta dan lelaki itu bergantian. Lelaki bercerutu itu
mengelus kepala sang gadis kecil yang diketahui bernama Bella. “Tenang, sayang.
Semua akan baik-baik saja.” Mereka mengintimidasi Gasta dengan pandangan
permintaan pertanggungjawaban atas semua yang telah dilakukannya.
“
Kapten O’, kau tau jelas alasan ku menemuinya.” Lelaki bercerutu itu membuang
muka. “ Sudah kubilang itu semua tidak mungkin. Apa aku harus mendefinisikan
kembali siapa dirimu dan siapa dirinya?” Gasta menunduk. “Kau tahu jelas betapa
aku ingin melindunginya dari dulu.” Kapten O’ mengangkat tangannya tanda
menyerah.
“Baiklah,
hanya ada satu cara agar kita tetap berada disini. Kalian harus ikut dengan ku.
Menemuinya.” Lelaki bercerutu itu menggeleng tanda tak setuju. “Kita akan
keluar? Kita akan menemuinya lagi? Aku sangat merindukannya.” Sorak Bella.
Kapten O’ meninggalkan mereka sambil berteriak. “Dia sudah dewasa! Dia bukan Sadira
kecil lagi! Kau harus ingat itu!”
Gasta
tak menghiraukannya. Dia memandang Bella. “Kau mau menemuinya?” Ucapnya pelan.
Bella mengangguk. “Persiapkan diri mu.” Bella memejamkan mata sambil
menggenggam tangan Gasta erat. “Aku siap, raja capung.”
Alia menggoyang-goyangkan badan
Sadira yang sedang duduk di atas kursi. Dia seperti berada di dalam keadaan trance. Setelah Sadira sadar, Alia
langsung memberinya segelas air putih. “Aku merasa seperti sedang dibicarakan.
Siapa yang berbicara dan apa yang dibicarakan aku tidak tau. Tapi aku
merasakannya. Mungkin aku terlalu letih hari ini.” Alia memandang Sadira heran.
Dia membiarkannya naik ke lantai dua. Sadira memasuki kamarnya dengan lunglai
lalu tertidur.
***
Setiap hari jumat kemung libur. Alia
berencana untuk pergi ke pasar membeli bahan makanan bersama nenek Pit. Dia
berpamitan kepada Sadira yang sekarang sedang tergolek lemah di atas kasur.
Alia sudah ditunggu nenek Pit di depan gerbang. “Kau sudah membawa keranjang
mu?” Alia mengangguk.
Alia dan nenek Pit pergi berjalan
kaki. Letak pasar tidak terlalu jauh dari rumah mereka. “Alia, kenapa kau tidak
kembali bekerja di rumah kami? Kami kan sudah pulang” tanya nenek Pit sambil
menyingkirkan sebuah daun yang menempel di rambut Alia. Buru-buru Alia
mengambil bukunya. Dia menulis jawabannya. Nenek Pit menunggunya dengan sabar
seperti biasa.
Ada
yang aneh dengannya akhir-akhir ini. Aku tidak bisa bilang pada mu sekarang.
Aku masih menyelidikinya. Itulah kenapa aku tidak bisa meninggalkannya. Maafkan
aku, Nenek Pit.
Setelah membacanya, nenek Pit
mengernyitkan dahi. Dia mengembalikan buku itu kepada Alia. “ Tak apa. Lagi
pula masih ada bu Turdi yang membantu kami. Aku harap Sadira baik-baik saja.
Jika kau butuh sesuatu, berlarilah ke rumah kami.” Alia mengangguk.
Pasar tradisional pagi ini sangat
ramai. Beberapa tukang panggul terlihat mengangkut dus-dus ke dalam toko. Peluh
di dahinya sudah tak lagi dihiraukan. Sang pemilik toko meneriakinya dengan
kata-kata kasar jika mereka melambat. Wajah mereka hitam legam dengan urat
tangan yang menonjol. Kaos oblong hasil pemberian salah satu partai dengan
celana jins bolong menjadi seragam kerja mereka. Caci dan maki menjadi biasa
saja demi anak mereka yang bisa makan enak malam ini. Kehidupan pasar memang
keras. Tak jarang Alia melihat perdebatan sengit antara pembeli dan penjual
untuk mempertahankan selisih beberapa ratus perak saja. Anak-anak kecil
berebutan mainan. Sementara ibunya sedang sibuk melayani pelanggan. Kios bawang
di sampingnya tampak sepi. Penjualnya tidur di atas karpet anyam sambil
menutupi mukanya dengan buku kredit. Beberapa meter tak jauh dari kios bawang
berjejer kios yang menjual beraneka ragam jenis buah-buahan.
“ Super jeruk. Super jeruk. Siapa
yang memakannya akan awet muda. Lima ribu rupiah saja. Ayo bu, ayo pak. Super
jeruknya.” Alia memandang nenek Pit dengan pandangan meledek. “Aku tidak butuh
itu untuk mengencangkan keriput di kulit ku.” Ucapnya sinis. Alia tertawa. Dia
menggandeng tangan Nenek Pit dan membawanya ke kios buah tersebut.
“Super jeruk?” tanya seorang penjual
yang mengenakan bondu hitam di kepalanya. Alia menggeleng. Dia menunjuk buah
kiwi. “Berapa kilo?” Alia menunjukkan angka satu dengan tangannya. Penjual
tersebut membungkusnya. “Bu, super jeruknya? Ibu akan terlihat seratus tahun
lebih muda.” Nenek Pit yang sudah terlanjur tersinggung hanya menggeleng dengan
muka masam. Alia menahan tawa disebelahnya.
Setelah barang belanjaan penuh, mereka
menyusuri jalan pulang dengan dominasi nenek Pit yang bercerita tentang
liburannya beberapa minggu yang lalu.
“ Kami pergi berlibur. Menyusuri pantai.
Menapaki pasir sambil saling berpegangan tangan. Sangat menyenangkan. Kau tau,
Alia? Semakin tua pegangan kami semakin erat. Semakin tua kami semakin
mendekat. Karena kami mulai menyadari bahwa kami akan terpisahkan oleh kematian
suatu hari nanti. Sebelum waktu itu datang, kami saling berbicara sebanyak
mungkin. Kami berpelukan sampai tertidur. Kami menghabiskan waktu sore saling
menghitung uban masing-masing. Setiap bangun pagi, kami bersyukur karena kami
masih diberi hidup dan masih bersama. Bisa kau bayangkan betapa kami sangat
menghargai setiap detik kebersamaan itu?”
Alia menitikkan air mata terharu.
Nenek Pit menyekanya.
“Ketika kami masih muda, kami sering
bertengkar. Kami saling berargumen. Kami tak jarang saling bosan. Tapi ketika
kami mulai menyadari bahwa kami sudah tumbuh tua, ketika kami menyadari bahwa
kami akan mengalami fase kehilangan, kami mulai merapat. Dia itu lelaki yang
menyebalkan memang. Tapi teman hidup yang aku butuhkan. Aku sangat
mencintainya. Bahkan kadang…. melebihi apapun.” Nenek Pit menatap Alia. Lalu
menundukkan pandangannya. Maafkan aku.
Gumamnya dalam hati.
“Alia, kau anak yang baik. Semoga kau
mendapatkan lelaki yang baik. Ku sarankan: Carilah pasangan hidup yang bisa
dijadikan teman bicara. Karena ketika tua, tidak ada yang bisa kalian lakukan
lagi selain duduk di depan teras, meminum teh, dan saling bertukar isi otak.
Itu keromantisan terakhir yang bisa kalian lakukan bersama.” Alia mengangguk
sambil membantunya berjalan. Pasangan
hidup yang dijadikan teman bicara? Hmm apa rasanya berbicara? Katanya dalam
hati sambil tersenyum.
***
Dia bangkit dari tempat tidurnya.
Berjalan pelan sambil memijat kepalanya. Sadira memanggil-manggil Alia tapi tak
ada respon yang di dapatnya. Dia turun ke lantai satu dan beranjak ke dapur.
Mengambil slice roti di lemari dan mengisinya dengan selai nanas lalu
memanggangnya di atas wajan datar. Jendela dapur dia buka lebar. Sadira melamunkan
sesuatu sambil menatap langit dengan pandangan kosong. Tak sadar, rotinya mulai
hangus.
“ Ceroboh! Lihat roti mu. Pantas saja
aku mencium bau tak sedap dari luar.” Gasta mengangkat roti itu ke atas piring.
Dia mematikan kompor lalu menoyor kepala Sadira.
“Ada yang aneh dengan diriku. Aku
merasa seperti ada yang membicarakan ku. Tapi aku tak tau apa yang mereka
bicarakan.”
“Gasta, mereka terasa sangat dekat.”
Katanya dengan suara lebih pelan. “Aku benar-benar bingung hingga kepala ku
sakit. Semakin aku mencari dimana sumber suara itu, semakin aku kehilangan
mereka.”
Gasta terdiam. Dia membalikkan badan
sambil memotong roti Sadira menjadi dua. “Mungkin.. mungkin itu hanya perasaan
mu saja. Kau terlalu letih.”
Sadira mendekati Gasta. “Tunggu, tadi
aku bilang apa? Mereka? Ya aku ingat. Mereka. Ada beberapa orang.” Sadira
memejamkan mata mencoba menerka. “Ah, sial. Ingatan terjauh ku hanya sampai
situ. Mungkin kau benar, ini hanya pikiran ku saja.”
Gasta menghela nafas lega. Dia
membalikkan badan lalu menjejalkan roti panggang ke dalam mulut Sadira dan
meninggalkannya ke ruang tengah. “Atau mungkin kau sedang lapar.”
Sadira mengunyah setengah potongan
roti di mulutnya. Dia meninggalkan sisa potongan di atas piring dan berlari
menuju Gasta dengan mulut yang penuh dengan roti. “Kup-Hun-Kuw-Du-Thung?”
Gasta mengambil sebuah bantal untuk
dudukan kepalanya sambil merebahkan badan di atas sofa dengan kaki yang berada
di atas meja. “Kau terlalu sibuk melamun hingga tak menyadari kedatangan ku.”
Sadira menarik bantal hingga kepala Gasta sedikit terpental. Sadira duduk di
sebelahnya sambil membuka toples kudapan kacang kapri. “Kau memang selalu
datang tanpa tanda-tanda. Hey, aku tak melihat Alia daritadi. Sepertinya dia
masih berada di jalan.”
Gasta menoleh ke arah pagar luar
sedikit gelisah. “Bagaimana jika kita pergi? Sekarang juga. Berpetualang?”
Sadira menolehkan kepala ke arah Gasta. “Kenapa tidak?” Katanya penuh semangat.
Sadira berlari ke lantai dua.
Mengambil jaket dan tas ranselnya. Dia memasukkan beberapa makanan dan satu
botol air minum. Sadira pergi meninggalkan rumah dengan meninggalkan sticky
note di meja kasir.
Aku
pergi bersama Gasta. Aku menyisakan sepotong roti untuk mu di dapur. Bye, Al!
***
Pagar rumah terbuka. Sepedanya telah
tiada. Buru-buru Alia masuk ke dalam rumah. Berlari ke kamar Sadira dan tidak
menemukan keberadaannya disana. Dia mencarinya ke seluruh penjuru rumah hingga
ke rumah pohon. Alia mulai panik. Belanjaan dia taruh di atas meja. Beberapa
buah kiwi berserakan ke lantai. Dia membereskannya dengan terburu-buru. Alia
mengambil kunci di meja kasir untuk membuka pintu belakang menuju halaman. Mungkin
Sadira berada disana. Sebuah sticky note mengalihkan perhatiannya. Dia cabut
dengan perlahan dan membacanya. Oh Tuhan,
benar dugaan ku. Ucapnya dalam hati.
Alia melipat sticky note itu menjadi
sangat kecil dan membuangnya ke tempat sampah. Dia bingung karena tidak tau
harus melakukan apa. Ini seperti buah simalakama. Jika dia memberitahu Sadira,
hal ini akan mengguncang jiwanya. Jika dia tidak memberitahunya, entah sampai kapan
dia akan bertahan? Tidak mudah untuk selalu menyimpan rahasia sendirian.
Ssssssssss.
Sebuah desisan terdengar dari dapur.
Bau hangus dan asap yang mengepul membuat Alia berlari ke arah dapur. Satu
slice roti utuh yang sudah berwarna kehitaman terbakar di atas wajan datar. Astaga, dia lupa mematikan kompornya!
Mailida, April 2013
Comments
Post a Comment