Skip to main content

#The Book Chapter 5


#5
Ssst.
Bel berbunyi. Ada suara langkah kaki yang terasa semakin mendekat. Sadira mengambil ancang-ancang. Dia berlari menuju dapur dan mengambil apapun yang bisa dijadikan pertahanan. Sadira mengendap-endap ke belakang pintu. Tangannya kuat memegang sapu.
“ Tunggu. Penjahat di siang hari? Memencet bel? Sungguh sopan.” Dia melepaskan sapu nya dan berjalan tenang menuju ruang tamu. Dia bersihkan badannya dari debu. Memeriksa siapa yang datang bertamu. Seorang wanita bertubuh mungil memunggunginya. Rambutnya panjang sebahu. Dia membawa sebuah keranjang kayu.
“ Siapa kau?” Wanita itu membalikkan badannya. Dia tersenyum dan memberikan keranjang kayu tersebut kepada Sadira. Dia menunjuk papan nama di dadanya.
“Alia?” Kata Sadira mengeja. Alia mengangguk. Dia memberikan sebuah kertas bertuliskan Selamat Sarapan dari Nyonya Pit. Sadira meraih keranjang itu. Melihat isinya yang ternyata berisi roti isi dan beberapa kaleng susu. Sadira mengucapkan terimakasih padanya. Alia mengangguk. Dia melambaikan tangannya pada Sadira lalu pergi. Dia berlari kecil lalu membalikkan badannya kepada Sadira. Memberikan senyum sambil mengarahkan jempol kepadanya. Sekejap dia menghilang dari pandangannya.
Roti dan susu itu dia lahap tanpa ada sisa. Sudah tak ingat lagi kapan dia terakhir mengisi perutnya.
***
Yesterday, all my troubles seemed so far away
Now it looks as though they're here to stay
Oh, I believe in yesterday.

Suddenly, I'm not half to man I used to be,
There's a shadow hanging over me.
Oh, yesterday came suddenly.

Why she had to go I don't know she wouldn't say.
I said something wrong, now I long for yesterday.

Yesterday, love was such an easy game to play.
Now I need a place to hide away.
Oh, I believe in yesterday.
The beatles – Yesterday
Sebuah piringan hitam menggantung di tembok dekat tangga. Dia menjinjitkan kaki berusaha meraihnya. Langsung saja dia pasangkan ke dalam sebuah gramophone tua yang membuat rumah ini tak senyap lagi.
Dia buka jendela lebar-lebar. Menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Sadira merebahkan badannya di atas rumput depan rumah. Menelentangkan tangan dan kakinya. Matanya menengadah ke atas mengamati langit biru dan awan yang bergerak perlahan.
“Dru, di atas awan itu ada apa?”
“Kau mau kesitu?” Sadira kecil mengangguk.
“Tapi awan itu ringaaaan sekali.”
“Lalu?” Tanya Sadira.
“Aku takut.”
“Takut apa Dru?”
“ Aku takut.. aku takut.. aku takut awan tak bisa menahan berat badan mu.” Dru berlari meninggalkan Sadira sambil tertawa. Sadira memasang tampang cemberut dan mengejarnya. Dia mengelitik badan Dru hingga berguling di atas rumput.
“ Sadira!” Panggilan kakek Pit membuyarkan lamunannya. Sadira bangkit dari tidurnya dan mendekati Kakek Pit. Dia berjalan sambil membersihkan daun kering yang menempel di kaki dan punggungnya.
“ Aku memutar mencari mu. Ternyata kau disitu.” Kakek Pit menjatuhkan dirinya di atas sofa terdekat. Dia mengatur napasnya yang tersengal-sengal seakan telah melakukan perjalanan sejauh ribuan kilometer melewati beberapa benua dengan kaki telanjang. Dengan sigap Sadira pergi ke dapur mengambil segelas air putih.
“Cepatlah berikan padaku..” Katanya tak sabar. Kakek Pit menarik tangan Sadira yang baru saja mau memberikan segelas air padanya. “Kau lambat sekali, aku keburu mati” Suara tegukan air terdengar mengalir ke kerongkongannya.
Glek.
Glek.
“ Kau tata rumah ini dengan rapi.” Mata Kakek Pit memutar. Sadira duduk di sebelahnya.
“Alia. Kau pasti mengenalnya. Siapa dia, kek?” tanya Sadira sembari menaruh tongkat di pinggirnya.
Kakek Pit mengambil kembali tongkat tersebut. Dia berjalan menuju suara gramaphone yang masih menyala. “Ini lagu favorite ayah mu.” katanya sambil terbatuk-batuk. Sadira berlari memberi minum kembali. Kakek Pit memejamkan mata menikmati lantunan piringan hitam seakan bernostalgia dengannya
“ Dia datang tiba-tiba tadi pagi dengan membawa sekeranjang roti. Siapa dia?” ucap Sadira untuk kedua kalinya.
“ Kau tau? Aku selalu berdebat dengan ayah mu tentang keluarnya John Lennon dari The Beatles. Dia bilang Yoko Ono lah sumber kekacauan segalanya. Aku tak sependapat.” Sadira menanggapinya dengan ekspresi dan senyuman datar.
“ Kau tahu? Ayah mu tak pernah mau kalah dari ku. Begitupun aku. Oh aku lupa, Perang Urat Dunia ke 3 atau 4 yang terakhir kami lakukan. Yah, tapi dia tetap sahabat ku yang terbaik.” Ucap kakek Pit sambil memandangi foto dua orang laki-laki yang sedang berangkulan di depannya.
“ Kau cukup tampan.” kata Sadira.
“  Terimakasih” katanya sambil mengangkat dagunya tinggi.
Dahulu. Gumam Sadira pelan.
“ Jadi, Alia adalah?”
 “ Kau sudah makan sarapan mu?” Sadira mengangguk cepat. Dilanjut dengan menatap Kakek Pit dengan pandangan Answer-my-question-so-I-could-die-in-peace.
“ Oh ya, kau tanya tentang Alia tadi.” Sadira menghela napas panjang sembari mengerahkan pandangan thank-you-i-am-on-heaven-now.
“ Dia bekerja di rumah ku.”  Sadira mengutarakan Ohh panjang. “ Tapi mulai besok dia akan bekerja di rumah mu” Sadira membeku.
Prang!
 “Biasanya ayah mu menaruhnya di sini” Kata Kakek Pit yang sedang mengobrak-abrik lemari buku. Beberapa piringan hitam tersimpan di rak paling atas. Setelah memilih, Kakek Pit mulai menggantinya.
“ Aku lebih suka ini. Mari berdansa! WooHoo! ” Dia memejamkan matanya sambil angguk-angguk, menari, berdansa, sangat menyebalkan.
“ Maksud mu? Bekerja di rumah ku? Aku tidak butuh dan aku tak meminta.”  Kakek Pit tak menghiraukannya. Dia berselonjor di atas sofa merah sambil menjentik-jentikkan jemarinya saja. Engsel dan sendi nya sudah tak cukup kuat menopang kelincahannya.
 “ Aku pinjam piringan hitam ini. Ok?” Kakek Pit memberanikan diri untuk menggerakkan badannya secara ekstrim walaupun hanya beberapa detik. Badannya menyerah dan kembali duduk berselonjor di atas sofa.
“ Oh, aku sudah tak segesit dulu” Katanya sambil mengusap-usap pinggang yang terasa hampir patah.
 “ Tidak akan kupinjamkan. Jelaskan dulu maksudmu.” Ucapnya mengancam.
“ Tidak akan kujelaskan. Pinjamkan dulu piringan hitam mu.” Kata Kakek Pit membalas. Sadira membalikkan badan dan memutar bola matanya.
“ TIDAK!” Katanya sedikit berteriak. Kakek Pit langsung balas memelototinya.
“KAU DENGAR? TI-DAK!” Sadira menegaskan. Kakek Pit memberikan senyum kecut dan menyilangkan jari telunjuk di atas bibirnya. Dia mengambil lakban hitam dan langsung merekatkannya. Sadira menggeretakkan gigi sambil menutupi mukanya. Tangannya sudah kuat mengepal karena menahan kesal.
“ Baiklah, kau bawa saja semua. Sesukamu.” Kata Sadira menyerah. Kakek Pit tersenyum penuh kemenangan.
“Senang berbisnis dengan mu, anak muda.” Katanya sambil kesakitan melepaskan lakban hitam yang menyangkut di atas kumis tipis nya.
“ Aku harus pergi ke luar kota untuk beberapa lama.” Katanya menjelaskan.
“Ouch!”  Kumis tipis yang tertempel di atas lakban hitam membuatnya berteriak kesakitan.
”Aku harus melakukan pengobatan rutin dan berlibur dengan istri ku. Aku akan ke pantai dan menikmati sunset. Pasti menyenangkan sekali. Mulai besok Alia kutitipkan pada mu.” Lanjutnya.
”Dan masalah gaji, kau yang menanggung ya.” Sadira melemas di atas pijakan kakinya. Kakek Pit mengucapkannya santai.
“ Syukurlah, kumis ku masih ada.” Katanya pada kaca.
Aku harus membayar mahal penjelasan mu hanya untuk mendengar sebuah berita buruk? Oh piringan hitam ku. Gumamnya sembari melihat Kakek Pit yang mengumpulkan seluruh piringan hitam yang Sadira punya. What a deal.
“ Oh-uh, kau harus membayar rasa sakit ini. Segelas air jeruk untuk ketampanan ku yang berkurang dan sepotong sandwich untuk amukan nenek pit yang mengetahui bahwa kumis ku hilang beberapa helai.”
Sadira terpaku lemas tak menghiraukannya. Dia membayangkan seluruh beban yang harus diembannya. Berinteraksi dengan orang lain saja sudah membuat dia malas. Apalagi berbagi tempat dan memikirkan biaya hidup dengan nya.
“Hello?” Katanya membuyarkan lamunan Sadira.
“Air jeruk dan sepotong sandwich?” Kata Kakek Pit mengarah sinis pada Sadira.
Dia mengangkat bahu tak mengerti.
Kakek Pit menggelengkan kepala. Tangannya memeragakan sepotong roti yang sedang digigit dan tangan yang mengelus-elus kerongkongan dengan ekspresi penuh paksa.
“Please?” Ucapnya penuh tekanan dengan mata yang membelalak.
Perintah Kakek Pit bagaikan ultimatum perang seorang jendral kepada prajuritnya. Tak butuh banyak waktu, Sadira langsung beranjak menuju dapur.
REST IN PEACE.
Sincerely,
Sadira’s patience.

&&&
Alia sudah berada di depan pintu rumah Sadira. Mengenakan rok pendek selutut dengan kaus berwarna biru  muda. Sebuah tag nama dia tempelkan di dadanya. ALIA. Hanya terdiri dari empat huruf saja. Tiga vocal dan satu konsonan. Tangannya membuka perlahan pintu tersebut. Alia berjalan mengendap menuju dapur. Menyimpan beberapa bahan makanan yang dia bawa ke dalam kulkas.
Drrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr.
Sadira terbangun. Suara blender membangkitkan tidurnya yang lelap. Dia menuju sumber suara. Jantungnya berdegup kencang mendapati ada seorang asing di dalam rumahnya.
“Kau lagi. Yeah, beban kehidupan ku bertambah mulai hari ini.” Ucap Sadira kesal. Alia membalikkan badannya. Dia melambaikan tangan. Sadira menggelengkan kepala dan meninggalkannya ke teras depan.
“ OH SEMESTA NAN BAIK, SEJAK KAPAN KAU MENGELUARKAN DEKRIT UNTUK SELALU BERMUSUHAN DAN TIDAK PERNAH BERPIHAK KEPADA KU?” katanya menengadahkan kepala ke atas langit. Awan kelabu di pagi ini seakan mengolok-olok dirinya.
KAU MAU AKU MEMBERIKAN MU SEBUAH BAHAGIA?
“ Ya! “ Ucapnya lantang.
BENAR? APAKAH KAMU CUKUP SERIUS UNTUK MENGINGINKANNYA?
“ Tentu, cepatlah berikan pada ku.” Katanya pada langit.
BERAPA PERSEN KESERIUSAN MU?
“ 100!”
Awan bergerak ke kanan dan ke kiri seakan menggelengkan kepalanya.
“ Tak cukup? 200? 300? 1000? 1 Milyar? Hingga sehabis angka. Bagaimana? Ah, aku ingin bahagiaaaaaaaaaaa. Tolonglah!”
Tiba-tiba awan memberikannya kejutan. Hujan turun sangat deras dan langsung membasahi badannya hingga kuyup.
“ Hah. Terimakasih, awan-yang-baik.” Katanya kesal.
Alia datang menghampirinya. Dia membawa sebuah handuk dan memberikannya pada Sadira. Segelas jus yang telah dibuat Alia langsung diteguknya. Alia kembali masuk ke dalam rumah. Dia mulai membersihkan beberapa perabotan.
“Terimakasih!” Teriaknya dari luar. “Kakek Pit telah pergi?” Terlihat Alia mengangguk.
“ Jam berapa dia pergi? Kapan dia pulang? Sombong sekali dia, pergi tak berpamitan setelah merampok semua piringan hitam ku.”  Alia menjawabnya.
“ Apa? Bagaimana? Sepertinya hujan turun cukup deras hingga aku tak bisa mendengar mu.” Sadira mendekatkan dirinya kepada Alia.
Alia tersenyum dan kembali menggerakkan bibirnya.
“ Suara mu terlalu pelan. Berteriak lah.” Katanya.
Alia kembali menjawabnya dari jauh.
“ I CAN’T HEAR YOU, HONEY~” Katanya sambil mendekat dengan tampang yang cukup geram.
Alia tak berpindah, dia berdiri tegak di tempatnya. Sadira mendekat hingga berjarak hanya beberapa jengkal darinya.
“ Kakek Pit pulang hari apa?” Katanya mengulang.
Alia menjawab untuk kesekian kalinya.
“Kakek-Pit-pulang-hari-a-apa? Jawab sekali lagi?” ucapnya terbata.
Alia tertawa dan kembali menjawabnya.
Sadira mematung. “ Hujan telah reda.” Sadira memeriksa langit yang kembali cerah.
“Oh Tuhan.” Sadira menegang. Seakan tak terima jika firasatnya benar.
Sadira terdiam. Raut wajahnya berubah drastis.
“ Tuhan, kuharap kau sedang menekan tombol mute kehidupan. Kembali kan lah semuanya menjadi normal.Katanya datar sembari tak lepas memandang Alia.
Alia menertawainya.
“ Hingga tawa mu pun tak ada suara?” Gumamnya pelan. Alia tersenyum lebar dengan memperlihatkan gigi-gigi kecil nya.
Alia menggerakkan tangannya. Memperlihatkan bahasa isyarat yang tak dimengerti Sadira.
“Kakek Pit, awas kau.” Gumam  nya sinis penuh dendam.

Comments

  1. Hahahahaha I Like this Kakek Pit, iseng bgt lah orangnya...
    Tapi itu lakban ngambil dari mana coba? Apa dia kemana-mana bawa lakban? hahaha

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengatur Belanja Seminggu

Selama saya menikah, pengeluaran yang gak kekontrol itu pengeluaran makan. Awalnya, sebelum bikin meal preparation setiap minggunya, yang saya lakukan adalah belanja ke pasar setiap hari pulang kantor ((( setiap hari )))).  Dan itu boros banget. Mana sisa makanan pada kebuang karena busuk. Belum lagi sayur yang gampang layu dan gak bisa diolah. Yah.....namanya juga learning by doing ya. Akhirnya saya nemu cara belanja yang jauh lebih efektif, efisien, dan ekonomis. Namanya meal preparation . Dilakukan seminggu sekali dan disimpan dengan baik ke dalam storage box. Sekarang jadwal wajib saya setiap minggu pagi adalah ke pasar tradisional atau pasar modern diantar abang. Beli sayur dan lauk untuk keperluan seminggu ke depan. Dan tau gak sih, ternyata kalau kita well planned, pengeluaran makanan bisa sangat efisien. Manfaat yang saya dapet itu,  Bahan makanan pas habis dalam seminggu hampir tanpa sisa yang kebuang Hemat waktu dan hemat energi Pengeluaran makan gak boros Lebih

Pesan Moral Manusia ½ salmon

Beberapa menit yang lalu saya baru aja selesai baca buku nya raditya dika yang baru yang judulnya manusia setengah salmon. Awalnya agak sinis ama isi buku ini. Saya pikir, “Ah paling buku humor guyonan biasa aja. Ala raditya dika aja lah gimana. Lumayan lah buat cekakak cekikik. Itung-itung hiburan.” Saya pun sempet nyesel sebelum membaca buku itu secara keseluruhan. Tau gitu beli buku lain yang lebih bermutu. Yang lebih berat. Yang kontennya ‘lebih pintar’. Pikir saya. Ibu saya pun sempet nanya pas saya mau bayar ke kasir. “ Jadinya beli buku itu? Ngasih manfaat gak?” Di dalem hati saya menjawab. Let me see. Setelah beberapa hari buku itu terbengkalai, akhirnya saya baca juga ampe selesai. Emang sih banyak banget cerita yang bikin saya cekakak cekikik ampe ketawa-ketawa sendiri. Ok, it’s so raditya dika. Saya gak kaget. Hingga akhirnya saya berada di chapter terakhir buku ini. Chapter yang bikin saya mengemukakan pertanyaan monolog di otak saya. Is that you, raditya dika

Bahagia & Dian Sastrowardoyo

Apa itu bahagia? Semua orang menginginkannya. Hari ini saya mendapatkan sebuah pelajaran lagi tentang apa itu bahagia. *** Sebuah wawancara, Hitam Putih – Dian Sastrowardoyo “ Aku itu ambisius banget. Aku itu banyak mau. Tapi ternyata aku baru sadar dunia ini lebih enteng kalau kita gak terlalu ambisius-ambisius amat. Karena I have everything that I want to ternyata.” Waktu hamil, karirnya sedang berada di puncak. Awalnya agak menyalahkan kehamilan ini, tapi setelah syaelendra lahir dia bahagia sekali. Jika dirunut kebelakang, Dian adalah seorang yang ambisius dari kecil. Menurutnya, definisi ambisius adalah focus dan determine banget untuk mencapai apa yang dia mau. Dari umur 10 tahun dia sudah ingin sekolah di luar negeri more than anything in the world. Di umur segitu dia melakukan riset bagaimana caranya mendapatkan uang banyak agar bisa membiayai sekolahnya di luar negeri. Ternyata menjadi artis adalah salah satu cara untuk mendapatkan uang banyak karena ibunya