#4
Janji Dru.
Ini hari
kedua dia berada di Bandung. Rumah ini dia bersihkan sedikit demi sedikit.
Masih terpampang dengan jelas foto keluarga mereka disini. Ayah, ibu, dan
dirinya. Gambar yang diambil beberapa tahun yang lalu ketika Alanda belum ada.
Sebuah lemari besar berisikan buku-buku yang telah menguning tersimpan di
pojokan. Sebuah kaca yang cukup besar menjadi jalan masuk cahaya matahari dari
luar. Rumah ini seperti keluarga nya. Bebas, terbuka, tak ada sekat.
Tangannya
membersihkan sarang laba-laba yang menempel di lorong tangga menuju lantai dua.
Disini hanya terdapat satu kamar besar dan satu kamar berukuran kecil. Itu kamar ku. Katanya bergumam dalam
hati sembari menoleh pada kamar yang terletak disebelah kiri. Dia buka pintu
kayu tersebut dengan perlahan. Terlihat bayang ayah dan ibunya yang sedang
membacakan sebuah cerita. Sadira kecil terbaring di atas kasur menutup matanya
sambil sesekali mengintip kepada kedua orang tuanya.
Kaki nya
berpindah ke halaman belakang. Sebuah rumah pohon yang rindang masih kokoh
tertanam disana. Terdapat tangga tambang yang masih menggantung. Sebuah lampion
yang sudah usang bergoyang-goyang tertiup angin. Dia pijakkan kakinya untuk
melangkah keatas. Namun talinya terlalu rapuh hingga membuatnya terjatuh.
“Akan
kuperbaiki nanti” Katanya sambil mengusap-usap lutut yang terbentur batu.
Sadira
kembali berputar-putar. Sebuah kebun bunga yang sudah layu menghentikan
langkahnya. Kebun bunga berbentuk hati yang dimana ada sebuah papan kayu yang
tertanam di depannya. Dia bersihkan beberapa gulma yang melingkar di papan
tersebut. Dengan masam dia membacanya.
I love you, ibu.
Cinta itu adalah ayah kepada ibu. Atau ibu
kepada Ayah. Tak ada lagi definisi cinta terbaik untukku. Aku adalah manusia yang terlahir dari dua insan
penuh cinta yang tak akan pernah mendapatkan cinta. Ucapnya. Kebun tersebut
merupakan kebun garapan Ayah hadiah ulang tahun pernikahan mereka. Menurutnya,
hubungan pernikahan itu seperti kebung bunga. Tugas kita tidak hanya sekedar
menanamkan bibitnya dan berharap tumbuh sendirian. Apakah bibit tersebut akan
mati atau tumbuh menjadi bunga-bunga yang indah adalah tergantung bagaimana
cara kita merawat dan menjaganya.
&&&
Wussss.
Angin
berhembus.
Sunyi itu
membuat sebagian diri menjadi terlelap. Bisikan angin yang anggun seakan
me-nina bobo-kan penikmatnya. Kini Sadira duduk di atas kursi goyang di depan
rumahnya. Gerakannya melambat tapi tidak dengan pikirannya. Ramai. Cepat.
Beberapa potongan gambar masa lalu berlarian membuatnya capai.
Dia
melamunkan segalanya. Apa itu gairah hidup? Apa itu kedamaian? Dia meraba-raba
karena hampir lupa. Ruang kosong di dalam dadanya bertambah luas berkilometer
kali lipat. Tidak ada yang lebih membosankan dibanding hidup dengan hampa
tujuan dan hampa perasaan.
Tak bisa
lagi dia membedakan rasa di dalam hatinya. Sakit? Sedih? Bahagia? Rindu? Dia
mati rasa. Sebuah perasaan yang tak terdefinisi. Matanya hanya satu pandang.
Kedepan namun tak jelas melihat kemana. Suara gerakan benda yang terjatuh membuat
otaknya berpikir macam-macam. Dia takut. Tapi kesunyian membuatnya lebih terjaga.
Tak ada
satupun yang tahu bahwa kesedihan ini tak biasa. Bagaimana ia bisa bertahan
memijakkan kaki ke tanah ketika tak ada satupun raga yang menahan dia untuk
terbang.
Terlalu
banyak perpisahan yang dia lakukan. Rasa sakitnya menumpuk bertubi-tubi.
Boom.
***
Sadira
mengurai semua rasa sakitnya satu persatu. Melakukan perjalanan batin ke masa
lalu dengan kendaraan pikirannya. Di mulai dari….
Leiker Andruya.
Dru.
DRU 2008, Yogyakarta
Menjadi
cadangan memang bukan maunya. Namun tak ada pilihan lain. Jika dia protes dan
berontak pergi dari kursi pemain, dia tak memiliki kesempatan untuk dimainkan.
Sadira seperti berada di antara dilemma tanpa kepastian. Pergi atau bertahan?
Sang pemain utama memberikan kemenangan. Dia di elu-elukan.
Pelatih senang. Padahal diapun bisa melakukannya. Sama persis. Yang kini dia
lakukan hanya duduk manis menunggu kapan dia dipilih pelatih untuk memberikan
kemenangan.
Dia pun mengolok-olok ketidakberdayaannya yang hanya menjadi
seorang pemain cadangan. Dru sang pelatih lah yang memainkan peran. Wanita itu
yang utama. Peran nya dia gantikan jika sang pelatih sedang bosan.
Cinta itu buta. Tuli. Dan bisu. Sadira adalah seorang buta yang
tak melihat bahwa dirinya hanya yang kedua. Sadira adalah seorang tuli yang tak
mendengar nasihat temannya untuk meninggalkan Dru. Sadira adalah seorang bisu
yang tak ingin menggerakan mulutnya membicarakan kejelekan Dru.
Terkadang dia letih namun rasa takut kehilangan membuat dia kuat
lagi. Terkadang hati kecilnya menyuruh pergi namun dia tetap kembali. Terkadang
menyakitkan namun bekas bahagia yang pernah dia rasakan membuatnya bertahan. Inikah
yang dinamakan magnet sakit hati?
Bodoh
Kasihan
Pecundang
Selamat
datang di dunia tipu daya
Selamat menikmati menjadi bayangan
Bodoh
Kasihan
Pecundang
Pe cun
daaang
Dang.
Apa yang membuat dia masih bertahan menjadi sang cadangan? Yang
harus menahan perih setiap pemain utama sedang dimainkan? Sadira sedang
menjalani sebuah kompetisi ekstrim yang mempertaruhkan sebuah hati yang jika
rusak tak akan ada garansi.
“ Dru, aku sudah buatkan makan siang untuk mu.”
“ Terimakasih. Tapi tak perlu, Gendis telah membuatkannya untukku.
Taruh saja disitu. Nanti malam akan ku makan.”
Sadira menarik napas nya dengan paksa dan membuangnya dengan
sekali hembusan keras. Dia menaruh kotak tersebut di atas meja kerjanya. Segera
dia membantu Dru yang sedang membereskan berkas. Sadira membetulkan kemeja Dru
sambil merapihkan rambutnya yang mulai berantakan.
“ Jangan disini. Nanti
orang curiga. Gendis sedang di jalan. Mungkin kau bisa keluar sebentar.”
Sadira membalikkan badan lalu berjalan keluar. Duduk di depan meja
kerjanya yang berada tepat di depan ruangan Dru. Papan bertuliskan sekretaris
direktur terpampang di depan mejanya. Tak berapa lama seorang wanita datang
menghampirinya.
“ Bos ada?”
“Ada mba Gendis, silahkan masuk.” Kata Sadira menampakkan wajah
ramah penuh palsu
Lama pintu itu tertutup.
Sadira tak tahan mendengar setiap tawa renyah yang terdengar. Dia menutup
kupingnya rapat-rapat. Mendengarkan musik kencang sambil menangis terisak.
Tak berapa lama mereka keluar sambil bergandengan tangan. Sadira
menatap mereka berdua tanpa kedip. Dru menatap mata Sadira lekat. Gendis
menatap keduanya sekelibat lalu kembali berjalan tak menghiraukan.
“Aku pergi keluar dulu, kalau ada klien yang datang, telfon aku.”
Sadira mengangguk berat.
&&&
Dan ketika pelatih sedang bosan.
Dia berputar-putar di dalam kamarnya dengan baju yang berantakan
di atas kasur, sepatu yang berserakan di lantai, rambut yang penuh dengan roll,
dan handphone yang terjepit diantara telinga dan bahu. Kebingungan melakukan
sesuatu yang tak tau apa itu.
Jam menunjukkan pukul 7. Dia hanya memiliki waktu hingga pukul 9
karena Dru akan pergi lagi. Tak perlu
lagi dijelaskan dengan siapa dia pergi nanti.
Dru menekan klakson mobilnya. Sadira berlari ke lantai bawah sambil
berpamitan kepada ayah ibu nya. Ayah mengintip dari kaca jendela. Memberikan
senyum kepada mereka berdua. Dru melambaikan tangan kepadanya dan melaju
membawa Sadira entah kemana.
Mobil mereka terhenti di tengah kemacetan. Tangan kiri Dru
menggenggam tangan kanan Sadira. Mengelus pipinya sambil melemparkan senyum
terbaiknya. Tangan kanan nya?
“ Ok, sayang. Jam 9 aku jemput. Aku lagi di jalan mau ketemu sama
klien. See you.” Dru menutup teleponnya.
Entah apa yang ada di benak Sadira. Rasa sakit yang terlalu sering
dia rasakan berubah menjadi imun yang membuat dia kebal.
Sadira memalingkan wajahnya ke pinggir jendela. Menahan tangis
yang tidak ingin dia perlihatkan. Langit yang kelabu kalah saing dengan
hatinya.
“ Dru “ Dia menoleh cepat.
“Aku ingin Dru yang dulu. Yang hanya aku.”
Mukanya langsung dipalingkan dan melajukan mobil dengan kencang.
Seakan kalimat tersebut amunisi amarah yang membuatnya berubah.
“AKU TAK INGIN BAHAS!”
“ Waktu benar-benar mengubah mu Dru.” Kata Sadira yang tak
menghiraukan bentakkan Dru.
Dia memarkirkan mobilnya ke pinggir. Dru menghantam setir mobilnya
dan berubah geram.
“ Jangan mulai mengungkitnya. Kau dengar?”
Sadira tak berhenti menekannya. “ Aku percaya bahwa suatu hari
nanti kau akan memaafkan masa lalu mu dan kembali menjadi Raja Capung ku.
Hahaha kau ingat itu?”
“ AKU BILANG AKU TIDAK MAU BAHAS.”
“Aku tak akan menyerah, Dru. Tap..” Kata-katanya tertahan.
Dru mencengkram pipi Sadira. “AKU-TIDAK-INGIN-MENJADI-DRU-YANG-DULU.”
Katanya penuh penekanan atas setiap kata yang diucapkan. ”JIKA KAU INGIN
BERSAMA KU, DIAM! IKUTI PERMAINAN KU. PAHAM?” Dia mengangguk sambil menangis
sesenggukan. Bahasan tentang Dru yang dulu selalu berakhir seperti ini.
“ Terimakasih sayang, ayo
kita lanjutkan perjalanan.” Dru mengelus pipi Sadira sambil bernyanyi-nyanyi
riang.
&&&
Sadira bangkit dari kursi goyangnya. Dia memutuskan untuk
mengakhiri perjalanan batinnya. Sadira berjalan menuju ayunan di halaman depan.
Dia merangkai setiap potongan kenangan yang berada di sana. Menekan-nekan
kepalanya berusaha mengingat kembali memori indah bersamanya dan melakukan
perjalanan batin berikutnya..
“ Dru, jangan kencang-kencang Dru. Jangan kencang-kencang. Hahaha.
” Sadira kecil memegang erat pegangan ayunannya. Lajunya yang kencang membuat
rambutnya terkibas naik ke atas.
“ Tenang saja, ada aku” Dru tertawa terbahak-bahak sembari makin
mengencangkan dorongannya.
“ Dru, cukup dru. Cukup.” Sadira mulai panik.
“ Katanya kau ingin pergi ke awan. Aku akan menerbangkan mu kesana.”
Dru lepas kendali. Ayunannya semakin kencang, suara besi penyangga yang
berkarat mulai bergesekan. Sadira menahan rasa sakit di perutnya. Dru mendorong
ayunannya dengan tenaga yang berlipat.
“ Druu turunkan aku. Dru berhenti, Dru! Ibuuuuu. Ayaaah.” Sadira kecil
menjerit ketakutan. Dru yang mulai tersadar langsung menghentikan ayunannya.
Sadira turun dari ayunannya lalu berlari menuju rumah. Dru mengejarnya. Dia
menghentikan langkah Sadira lalu menariknya.
“ Maaf Dir. Maaf. Aku membuat mu takut?” Sadira mengangguk sambil
menangis menutup mukanya. Dia meraih tangan Sadira lalu memaksanya untuk
memukul dirinya.
“ Raja capung jahat. Raja capung nakal. Raja capung pantas
dipukul.” Kata Dru. Dia semakin keras memukul dirinya menggunakan tangan
Sadira. Sadira berusaha sekuat tenaga melepaskannya.
“ Dru tidak jahat. Dru tidak jahat. Dru tidak akan pernah jahat
pada ku.” Sadira menangis. Tangannya telah terlepas. Dru mengelus-elus pipinya
yang kesakitan. Kini mata mereka bertautan. Tak sadar senyum telah tersungging
dari bibir kecil mereka.
“Dru tidak akan jahat pada Sadira lagi. Janji Dru.” Dru memberikan
jari kelingkingnya.
“Janji Dru.” Sadira menegaskan kalimat tersebut sambil menyambut
kelingkingnya.
&&&
Sadira mengacungkan kelingkingnya dan mengamatinya berulang kali. Janji Dru? Palsu! Dia berteriak sambil
menendang-nendang ayunan di depannya. Kakek Pit yang kebetulan lewat menahan
Sadira yang tak dapat mengendalikan diri. Sadira hampir saja mendorong Kakek
Pit yang mencoba meraih tangannya. Sadar apa yang dilakukannya, dia langsung
berlutut sambil meraung meratapi rasa sakit batinnya.
“ Dia berbohong! Dia berbohong, ke..”
Kakek Pit kebingungan. Yang dia lakukan hanya mengelus kepalanya.
&&&
Sadira keluar dari mobil Dru. Waktu telah menunjukkan pukul 9.
Langkahnya lunglai menuju pagar rumah. Mobil Dru melaju hingga sampai di titik
yang sudah tak terlihat. Sadira masuk ke rumah dan menghapus air matanya.
“ Baru pulang, ndo?”
“ Iya, aku ke atas dulu ya yah. Cape” Sadira cepat-cepat menuju
kamar untuk menghindari kontak mata dengan ayahnya.
Sadira merebahkan badannya di atas kasur. Letih dengan segala
peran yang dia lakukan.
Aku mendukung
semua yang kau impikan
Aku terus
menemani agar kau tak merasa sendiri
Aku selalu reda kan segala amarah mu
Aku tunduk merendah agar kau menjadi tinggi
Aku lah yang menampung segala luapan mu
Aku mulai berubah
agar bisa mengimbangi mu
Aku berikan jeda
ketika kau ingin lega
Aku membela
ketika mereka menghina
Aku kalahkan segala ego ku agar kau menang
Aku biarkan kau menghentak dan aku diam
Aku tak menyusul mu agar kau selalu berada di depan
Aku menahan agar
kau bisa bertahan
Aku membanggakan
mu tapi kau tak menghargai ku
Aku bernyanyi
untuk mu tapi kau tak menari untuk ku
Aku menjaga mu
tapi kau terus menghantamku
Aku tak pernah
membalas walau kau begitu keras
Lalu,
Lelucon
apa yang sedang aku mainkan?
Sadira
mencoba untuk tidur. Membayangkan Dru yang sekarang sedang bersama Gendis
adalah mimpi buruk yang terjadi bahkan sebelum tidur. Perkataan Dru di mobil tadi
membuat rasa sakitnya menjalar tidak hanya di hati tapi ke seluruh tubuh.
Menangis tidak lagi mempan menjadi pelampiasan. Sadira tertawa, pertanda rasa
sakit yang sudah mati rasa.
“ Aku yang dahulu? Kau bermimpi aku menjadi
Dru yang dulu?” Dru membenamkan dirinya di atas kursi mobil
sambil melipatkan tangannya kebelakang kepala.
“Aku hanya sedang mengadili masa kecilku. Masa
kecil yang pernah menyakitiku. Sekarang
waktunya aku yang menyakiti semua hal tentang masa kecil ku itu.”
Sadira
menggelengkan kepala. Dia mengarahkan kepala Dru kepadanya.
“ Cukup Dru, aku bagian masa kecil mu yang
menyenangkan. Kau ingat?” Sadira menatap mata Dru lekat.
“ Hanya bahagia semu. Masa kecil ku adalah
mimpi buruk. Apakah kau sudah merasa sangat sakit, Dir?” Dru
menatap kaca mobil di depannya dengan ekspresi datar.
“ Kau mengadili sesuatu dengan cara yang tidak
adil. Bisakah kau memaafkan hal-hal buruk masa kecil mu? Kau tidak akan pernah
tau bagaimana berartinya masa kecil itu untukku hingga saat ini.” Sadira
menggenggam tangan Dru. Dru lekas menampiknya.
“Kau satu-satunya memori masa kecil ku yang
masih ada. Sudah kah kau merasa sangat sakit, Dir?” Dru
tertawa.
“ Aku
tak akan menyerah Dru. Aku menunggu mu kembali seperti dulu. Aku ingin kau yang
dulu.”
“ Dahulu? Aku benci masa lalu. Pemukulan itu.
Aku masih ingat. Aku di buang ke dalam tong sampah. Badan ku di siram air
panas. Aku memanggil mu. Kau tak ada.”
“ Tapi dia sudah mati Dru. Ibu tiri mu telah
mati. Kau sudah aman.”
“ KAU KEMANA? AKU BERTERIAK NAMA MU. KAU TIDAK
MENDENGAR, DIR?” Dru mendekatkan mukanya ke depan Sadira. Sadira
menahan rasa takutnya. Dia memejamkan mata hingga Dru kembali ke kursinya.
“ Dia menarik rambut ku. Menenggelamkan kepala
ku kedalam air. Aku meminta pertolongan mu. KAU TAK ADA. KAU TAK DATANG.” Bentaknya. Sadira tak lagi tau harus menjawab apa.
“ Wajah
ku lebam. Hidung ku penuh dengan darah. Aku berteriak nama mu hingga suara ku
serak. Aku melihat mu dari kaca jendela. Kau sedang bermain bersama ayah ibu
mu. Kau penuh tawa. Aku memanggilmu. Tapi kau tak mendengar!” Ucapnya
sembari mengguncang-guncangkan bahu Sadira.
“Kau terlihat bahagia. DAN AKU TIDAK! ” Katanya
menangis.
“Maafkan aku, Dru.” Sadira
mengusap air matanya. Dru lagi-lagi menampik tangannya keras.
“Dia
bilang kau tak akan datang. Dia bilang kau tak peduli dengan ku.”
“ Ibu tiri mu bohong, Dru!”
“ KAU MENGHILANG. KAU TAK DATANG. Ibu tiri ku
benar. Semua orang akan meninggalkan ku. Hingga akhirnya pada suatu hari tak
lagi kutemui dirimu dan kau memang benar-benar pergi.”
“ Aku mencari mu untuk berpamitan. Kau tidak
ada.” Kata Sadira pelan.
“ Diam!“ Bentaknya.
“Sudah terasa kah perihnya, RATU MAGNOLIA?” Sadira tak
bisa menahan tangisnya. Ratu Magnolia?
Kau masih ingat, Dru? Gumamnya perih dalam hati.
“ Hmm. Apa ya yang akan membuat mu sangat
sakit? Aku mulai sedikit kehabisan ide.” Dru menggaruk-garuk dagunya.
Sadira mulai
tak tahan dan segera minta dipulangkan.
“ Cukup Dru, baiklah aku tak akan membahasnya
lagi. Mari kita kembali ke permainan ini. Aku yang akan selalu menjadi
pelampiasan pengadilan mu dan kau yang tak pernah puas menyakiti ku.”
“ Bagus. Aku akan antar kau pulang” Dru
melajukan mobilnya. Dia menyalakan radio dan bersiul dengan riang.
Sadira
menyenderkan kepalanya ke kaca mobil. Entah sampai kapan, tapi ini lebih baik
daripada Dru meninggalkannya. Semoga Dru tak tau, karena itu yang paling
menyakitkannya.
&&&
Dru
melempar kunci mobilnya ke atas kasur. Dia berjalan mendekati cermin. Meraba
pantulan bias dirinya di dalam cermin.
“ Janji Dru. Dru akan menyakiti Sadira. Selamanya.”
Baca dari kapan, baru mau komennya sekarang, hahaha
ReplyDeleteSemoga wanita" bodoh seperti Sadira di luar sana, segera disadarkan, amiin hehehe