Skip to main content

Duh,Mas Alah.

" Kalo seneng-seneng terus, namanya bukan hidup. Pasti ada cobaannya. Legowo saja lah.."
Mba Inul Daratista di suatu infotaiment.

Ternyata, semakin kita bertambah umur masalah yang kita hadepin semakin rumit ya. Eh rumit tuh relatif sih. Rumit menurut gue, belum berarti rumit menurut kamyu :)

Di sebuah angkot, sore-sore, duduk sekelompok anak SD yang baru pulang dari Masa Orientasi Siswa masuk SMP. Muka mereka sangat muram memikirkan barang yang harus mereka bawa buat besok. Saya yang berada di pojokan duduk sambil mencuri dengar. *Anggeur*

"Atulah, karung goni nyarinya dimana?"
"Ih ga kira-kira si teteh nya teh. Meuni kita harus pake karung goni"
"Da geuleuh atulah.."

Mereka menggeser badannya serempak meratap kaca pinggir jendela sambil memandangi senja sore yang mulai berganti. Huahaha latar nya lebay. Saya yang sedang mengamati mereka, tertawa kecil sambil bergumam betapa permasalahan di umur mereka begitu sangat ringan. Eits, ringan menurut saya, tapi menurut mereka di umur segitu itu masalah yang cukup berat. Mungkin.

Mari kita flashback permasalahan 'pelik' di zaman SMP. Masih ingatkah betapa stress nya kita ketika mendapatkan jerawat pertama yang begitu besar? Masih ingatkah betapa dunia rasanya mau runtuh ketika sahabat kita berteman dengan orang lain dan meninggalkan kita? Masih ingatkah betapa kalut nya ketika suatu hari rok putih kita tembus di hari pertama? Masih ingatkah permasalahan gencet menggencet yang membuat kita rasanya ingin pindah sekolah? Itulah permasalahan-permasalahan yang mungkin terlihat sepele jika dialami pada hari ini. Pada waktu itu, sepelekah? Tidak.

Lalu di zaman SMA. Kita mulai mengenal cinta. #Ciee. Mendapati kecengan kita jadian dengan orang lain. Kita galau. Putus dengan pacar. Galau. Pacar gak bales sms, resah. Backstreet dari orang tua, gundah. Rasanya beban batin ketika tugas belum beres. Hidup kita remaja abis deh pokoknya.

"Dulu dia gak gitu deh."
"Aku tuh masih cinta ama dia."
"Sakit banget tau perlakuan dia ke aku tuh"
"Aku gak kuaaat ngadepinnya. Ini tuh masalah berat banget. Aku gak terima diselingkuhin."

Dan segala drama yang ada....

Kita, sebagai manusia yang mungkin sudah menuju matang, akhirnya menanggapi persoalan diatas menjadi suatu hal yang biasa. Ah dasar labil, maklum ABG. Begitu mungkin menanggapinya. Tapi ketika berada di posisi mereka dulu, permasalahan tersebut pasti terasa berat.

Lalu, mengapa kita jadi memandang ringan masalah diatas tersebut? Ada dua kemungkinan menurut saya. Pertama, mungkin karena kita sudah pernah melewatinya. Kedua, masalah kita yang sekarang lebih berat dibandingkan mereka sehingga permasalahan tersebut terlihat ringan dibandingkan permasalahan kita yang sekarang.

Lihatlah orang tua kita yang menanggapi santai permasalahan yang kita utarakan. Karena mereka pernah berada di posisi kita dan siklus permasalahan tersebut menjadi hal yang biasa.

Alloh SWT tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan umatnya. Jadi, jika kita mendapatkan suatu cobaan dan permasalahan, hal itu menandakan bahwa kita sudah mampu menanggungnya. Ingatlah bahwa  cobaan yang semakin besar merupakan peringatan bahwa kita sudah tumbuh dan menua. ;)

Mailida, Juli 2012



Comments

Popular posts from this blog

Trip to Ujung Genteng

Tanggal 25, 26, 27 Januari kemaren, saya dan segerombolan anak kelas beserta beberapa pacar-pacar nya liburan ke Ujung Genteng. Asik bangeeettt!!!! \:D/ Whoaa akhirnyaaa kita berangkat juga. Kalau inget perjuangan H-3 sebelum keberangkatan, beuuh jangar. Migren kepala guee. Emang bener nih kata pepatah, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Sebelum keberangkatan, adaaa aja hambatannya. Mulai dari mobil yang kurang, kuota overload, gak nemu penginapan murah, nyampe kekhawatiran tentang cuaca yang lagi gak baguus. Perjalanan ke ujung genteng ini cuma ngabisin duit 115.000 per orang loh. Murah tapi bukan trip murahan. Haha. Jadi sebelum berangkat, saya kumpulin iuran wajib kami sebesar 115.000 per orang. Jadi buat pembayaran bensin, makan, dan penginapan, tinggal ambil dari uang kas yang disimpin di saya. Kita berangkat dengan 3 mobil. Mobil ijal, mobil ranti, dan mobil adri. Yang ikut ada 23 orang (saya,ranti,suhe, ica,oci, adi,adri,awal,opik,janu,ita,ijal,puji,ham...

Flashback

If you carry your childhood with you, you never become older Tom Stoppard Udah lama banget deh pengen nulis tentang masa SD saya di SALMAN, tapi selalu aja gak sempet dan gak ada waktu. Males sih sebenernya. Hahaha . Mangkanya mumpung gak males, saya pengen cerita deh Masa SD saya yang super menyena ngkan. And the story begin..... EX-CALIBUR Dulu pas zaman SD saya punya dua geng. Geng pertama namanya excalibur, anggotanya Saya, Putri , Kania , Hamdan , Bajay , Rian . Sayangnya kita bukan geng anak manis. Yah bisa dibilang partner in crime lah. Kita punya markas di bawah bunga bougenvil di deket pintu masuk sekolah. Gila ya how small nya kita dulu ampe cukup duduk ber 6 di bawah ta naman bougenvil. Disana kita sering rapat. Dan kalian tau apa yang kita rapatin? Ini nih topik rapat kita. " Dimana lagi ya markas kita selanjutnya? " Setelah mendapatkan conclusion dari rapat tersebut, akhirnya kita pindah markas. Setelah markas baru sudah di tentukan, kita rapat lagi un...

Pesan Moral Manusia ½ salmon

Beberapa menit yang lalu saya baru aja selesai baca buku nya raditya dika yang baru yang judulnya manusia setengah salmon. Awalnya agak sinis ama isi buku ini. Saya pikir, “Ah paling buku humor guyonan biasa aja. Ala raditya dika aja lah gimana. Lumayan lah buat cekakak cekikik. Itung-itung hiburan.” Saya pun sempet nyesel sebelum membaca buku itu secara keseluruhan. Tau gitu beli buku lain yang lebih bermutu. Yang lebih berat. Yang kontennya ‘lebih pintar’. Pikir saya. Ibu saya pun sempet nanya pas saya mau bayar ke kasir. “ Jadinya beli buku itu? Ngasih manfaat gak?” Di dalem hati saya menjawab. Let me see. Setelah beberapa hari buku itu terbengkalai, akhirnya saya baca juga ampe selesai. Emang sih banyak banget cerita yang bikin saya cekakak cekikik ampe ketawa-ketawa sendiri. Ok, it’s so raditya dika. Saya gak kaget. Hingga akhirnya saya berada di chapter terakhir buku ini. Chapter yang bikin saya mengemukakan pertanyaan monolog di otak saya. Is that you, raditya dika...