Suara-suara dialog yang berkecamuk selama satu minggu ini bergema di telinganya. Semua kata menyatu, terhimpun, hingga terdengar saru. Cukup! Katanya pada otak. Berhenti berpikir, sekarang! Dia tegaskan. Seakan seperti babu dan majikan, sang otak menurut tanpa melawan. Kini pikirannya kosong. Dia lebih tenang. Wajah keluh dan badan yang rentan direbahkannya di atas sofa bulu. Matanya mengarah ke jendela yang terbuka. Sepoi angin menyapanya. Melambai-lambai seakan mengucapkan Selamat pagi.
Wusssh. Angin membawa aroma rumput kala habis hujan. Wanginya menelusup ke dalam hidung, mengalir dan terbagi rata ke setiap vena. Ini kah yang dinamakan damai? Dia meraba-raba karena sudah lupa. Langkahnya lebih ringan, hatinya senang.
Aku tak peduli dengan setumpuk berkas yang menggila, deadline pekerjaan yang menyandera, atau rindu pada yang tak ada. Di dalam diam dia lebih bahagia. Kini waktunya mengantar kepergian gelisah yang tak terarah. You want to go? Ok, take care and bye. Katanya.
Sang sederhana yang sulit ditaklukan kini menyerah. Bukan karena dia lelah namun mengaku kalah. Dengan haru dia lucuti segala reka cipta dan mulai menghadapi nyata.
Part Sadira.
#TheBook
Mailida, Maret 2012
Comments
Post a Comment