Aku merasa canggung. Ku sibukkan diriku mencari kertas dan alat tulis yang berada di dalam tas. Berkali-kali aku bersandiwara menyeruput minuman kaleng yang sebenarnya sudah habis ku minum. Aku berpura-pura sibuk. Membuat berbagai coretan di atas kertas dengan pena. Tak jelas apa yang ku tulis, aku hanya sedang menunggu lelaki di depan ku ini mengutarakan sesuatu.
Ku lihat dia sibuk mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Entah apa yang diambilnya, aku mencoba memperhatikan secara seksama. Wanita di depan ku tampak sedang kehausan, berkali-kali aku melihatnya menyeruput minuman kaleng yang tak kunjung habis. Sekarang dia sedang menuliskan sesuatu. Aku ingin bicara, tapi aku malu. Biarlah dia yang memulai pembicaraan.
Satu per satu daun mulai berguguran sebagai pertanda kesunyian. Suara bising di sekitar tak mereka hiraukan. Lelaki dan perempuan ini masih terdiam. Saling mencuri pandang bergantian tak berani saling menatap.
Lebih baik aku yang memulai pembicaraan duluan. Huh! Aku lagi. Aku lagi. Aku lagi. Selalu saja aku yang mengalah. Mungkin ini salah satu takdir mutlak menjadi seorang wanita. Mengalah. Ya, mengalah.
Arrrghh!! Aku tak tahan, ini hampir satu jam. Bicara, tidak. Bicara,tidak. Bicara,tidak. Jika aku yang mulai, dia yang menang. Ah sudahlah, biarkan saja dia yang memulai. Tapi….
“Apa kabar?” Kalimat tersebut serempak terlontar dari keduanya. Kedua mata itu sudah beradu. Pandangan mereka tak lagi bisa melarikan diri. Mereka terjebak oleh pautan dua bola mata yang akhirnya terpenjara.
“Aku duluan. Apa kabar? ”
Wanita itu mulai mengawali percakapan yang beku. Dia tersenyum sembari menawarkan minuman kaleng yang ada di genggamannya.
“ Baik”
Hanya satu kata dan lelaki tersebut menjawab nya acuh. Dia menggeleng kepala menampik minuman yang ditawarkan oleh wanita di depannya.
Wanita tersebut sedikit lega. Hampir saja sandiwara salah tingkahnya terbongkar dengan bodohnya. Sedikit demi sedikit dia mulai menjauhkan minuman kaleng tersebut dari sampingnya. Aman. Dia menghela nafas.
“ Kau datang. Aku kira….”
“Aku bukan pengingkar janji. Jika aku berkata ya, maka memang ya”
“ Kau berubah”
“ Aku harus berubah”
“ Kau sudah bahagia?”
“Sudah. Sudah sejak lama. Aku sudah memiliki dua anak. Istri ku pandai memasak. Dia cantik. Cukup sabar. Dan… aku mencintainya. Bagaimana dengan diri mu?”
“Aku? A.. a.. aku pun memiliki keluarga yang luar biasa. Suami ku menyayangi ku. Emm. Anak ku dua. Lelaki dan perempuan. Mereka anak manis dan kami keluarga yang sangat bahagia.”
Tak sadar, mereka mematung. Lidah mereka kelu. Entah karena sama-sama saling bahagia atas kebahagiaan masing-masing atau alasan yang lain….
“ Baiklah kalau begitu. Tugas ku selesai. Aku sudah memastikan bahwa kau memang sudah bahagia. Kini aku sudah bisa berpisah secara lahir dan batin dengan mu”
“Sudah bisa? Jadi dari dulu kau belum bisa? Ku pikir kau sudah melakukan perpisahan tersebut dari dulu. Sebelum aku”
“Oh, Emm. Eh. Ah maksudku berpisah secara resmi dengan mu hari ini. Ya secara resmi. Lagipula aku sudah bahagia dengan suami dan anak-anak ku. Mana mungkin aku belum bisa melupakan mu. Hahahaha kau bercanda. Aku kan hanya melaksanakan perjanjian kita sebelas tahun yang lalu. Memastikan bahwa kita berdua memang sudah saling bahagia. Ya, itu maksudku.”
“ Kupikir..”
“Kau pikir apa?”
“Tidak. Bukan apa-apa. Baiklah, aku harus pergi. Keluarga ku menunggu. Kami akan makan malam bersama malam ini.”
“A.. A.. Aku juga harus segera pulang. Kami berempat akan menonton DVD bersama sambil membuat beberapa camilan.”
“Keluarga mu tampak bahagia”
“Keluarga mu juga. Kau mengajak keluarga mu makan di luar. Kau memang suami yang baik”
“Terimakasih”
Angin kencang mulai menyusup diantara celah dua insan yang sedang melakukan pelukan perpisahan. Mereka saling memejamkan mata. Menikmati setiap sentuhan yang telah lama tak mereka rasakan. Hangat. Mereka terus saja berpelukan. Rasanya bumi pun tak rela untuk memisahkan.
***
Ternyata kau sudah bahagia. Sudah berkeluarga. Kau memang pantas mendapatkan semua nya. Seharusnya wanita yang kau ajak makan malam itu aku. Seharusnya anak-anak yang kau punya itu berasal dari rahim ku. Kalau saja kau tau, malam ini aku sendiri. Tak ada DVD, tak ada membuat camilan bersama. Malam ini kuhabiskan hanya bersama guling dan bantal sendirian. Dan mungkin aku akan menangis semalaman membayangkan mu di tempat lain sedang berbahagia dengan keluarga kecil mu. Yah, seperti malam-malam sebelumnya….
***
Sudah ku kira, kau memang sudah bahagia. Rasanya aku ingin mengutarakan ini. Bahwa perasaan itu masih sama. Mana mungkin aku bisa menikah dengan wanita lain jika di hati ini masih kamu….
***
“ Baiklah, anak-anak ku sudah menunggu. Aku harus pergi. Salam kepada istrimu, Az”
“ Akan ku sampaikan. Cepatlah pergi, anak-anak mu pasti sudah tak sabar menunggu ibu nya di rumah. Hati-hati, din..”
Mereka pun berjalan berlawanan arah. Saling mengusap air mata dan berbalik kebelakang bergantian……
Mailida, December 2011
penasaran sama akhir ceritanya?hehee..
ReplyDeleteLida mana sambungannya....??? *hausBacaTulisanLida, hahahaha
ReplyDelete@inmymind Oke tunggu ajaaa heheh :D
ReplyDelete@Kang Mufqie Hahahah sambungannya tergantung mood dan ide wkwkw tunggu aja :D
lidaaaaa,,, ini syedih :( tapi mereka pasti sama2 ga punya fb ya.. kan jaman sekarang bisa stalking hahahaa
ReplyDeleteHahahahahah betul juga ya. Gak kepikiran. Mungkin settingan cerita ini sebelum FB atau FS ada. Heubeul atuh ya ahaha
ReplyDelete