Tulisan ini dimuat di writingsessionclub.blogspot.com
Tema : Kabur
Dia adalah setan neraka yang terperangkap di dalam tubuh seorang manusia. Begitulah kesan yang selalu tertanam di dalam pikirannya.
***
Mareta merinding ketakutan. Sambil memeluk kedua kakinya yang ditekuk, dia bersembunyi di balik lemari kamar ayahnya. Sebisa mungkin dia menahan suara tangisannya. Nafasnya cepat dan pendek-pendek. Jantungya berdegup kencang membuat keringat dingin muncul dari dalam pori-pori tubuhnya. Dari jauh terlihat seorang wanita paruh baya yang masih mengenakan celemek masak datang menghampirinya sembari menenteng sapu yang diambil dari dapur. Di tangan kirinya terdapat satu kantung kresek hitam yang tak asing lagi bagi Mareta.
Ia makin merapatkan tubuhnya ke balik lemari. Getaran langkah kaki wanita itu mulai terasa sangat dekat. Dia menundukkan kepala sembari memejamkan mata. Tak kuasa membayangkan apalagi yang akan menimpanya.
Sebuah benda tumpul menghantam kepalanya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Hingga dia sudah lagi tak bisa menghitungnya. Wanita di depannya ini memukulinya tanpa ada rasa kasian. Menjambak rambut gadis kecil yang tak berdaya, menendang perut,leher,dan kepala berulang kali, mengatakan kata-kata kasar cacian sambil terus menganiaya. Mareta menggigit ujung lidahnya agar tidak menangis. Dia menahan rasa sakit sambil merapalkan kata “ayah ibu” di dalam hati berulang kali.
“ Ini ganjaran untuk pencuri kecil! ” Wanita itu menghela nafas puas setelah energinya habis memukuli Mareta. Matanya sinis seakan tak peduli dengan keadaan gadis kecil di depannya yang tersungkur lemah di lantai. Darah mengalir dari balik hidungnya. Mareta segera menghapusnya dengan kerah baju. Ia menahan rasa perih sembari menatap nanar wanita itu memohon pertolongan. Namun dia hanya melenggang pergi sembari meludahinya.
Sambil terseok-seok, Mareta merogoh kresek hitam yang berada di sampingnya. Lambung yang terus saja meronta minta diberi makan, membuatnya tak memiliki banyak pilihan. Dengan terpaksa dia memakan nasi basi itu dengan lahap. Yang rasanya sudah tak karuan karena tercampur dengan darah yang masih mengucur dari hidungnya.
Dia mengambil tulang ayam dari saku celananya. Menjadikannya lauk untuk makan siang. Masih terasa gurih di lidahnya ayam goreng yang dia curi tadi pagi dari atas meja makan. Suiran ayam yang menyangkut di gigi dia ambil dan dimakan kembali. Ternyata ada bayaran yang sangat mahal untuk satu potong ayam goreng. Bilur.
Tak lama kemudian terdengar suara mesin mobil yang dinyalakan. Semakin lama suaranya semakin menghilang. “ Sepertinya dia sudah pergi” Gumamnya dalam hati. Matanya mengamati sekeliling rumah megah yang dia tempati. Rumah yang dulunya hangat di huni oleh ayah, ibu dan dirinya. Suara tawa dan keceriaan keluarga berganti dengan suasana kelam yang suram. Sepeninggal ibu ke surga, ayah mendatangkan mimpi buruk dalam hidup Mareta. Seorang ibu tiri kejam yang membuat ayahnya pun menyusul ibu ke surga.
Mareta memastikan kembali apakah ibu tirinya sudah pergi atau tidak. Dia memanggil ibu tirinya itu dengan ragu dan rasa takut. Namun tak ada jawaban. Dia sedikit berteriak, namun hanya terdengar pantulan suara dari dinding yang bisu. Sekarang dia sudah yakin. Seperti tak ingin kehilangan waktu, dia segera melarikan diri ke rumah pohon di dekat bukit. Rumah pohon yang tak jauh dari rumahnya. Yang dibuat oleh ayah ketika dia berumur 5 tahun. Tempat dimana ibunya sering membacakan dongeng putri tumbelina.
***
Perjalanan menuju bukit dinikmatinya sebagai sebuah kebebasan yang mumpuni. Tak lagi dia peduli dengan memar di kaki yang membuat langkah kaki nya pincang ke kiri. Batang kayu yang dia temukan di pinggir jalan dijadikan tongkat penyangga untuk membantunya berjalan. Di depannya kini terdapat rumah pohon rapuh yang membuat air matanya deras mengalir. Matanya tertuju pada tempat kenangan dia dan kedua orang tuanya. Terlihat di atas sana bayangan ibu yang sedang memeluk dan mengusap rambutnya sembari membacakan buku dongeng putri tumbelina.Mareta tertidur di pangkuannya. Bayangan ayah yang sedang serius memaku kayu-kayu yang rapuh terlihat jelas di bawahnya. Peluh keringatnya seakan pertanda bahwa dia tak ingin dua bidadarinya kenapa-kenapa. Memastikan tiang kayu yang menyangga cukup kuat menahan Mareta dan ibunya di atas sana.
Kaki kecil itu segera menaiki tangga di rumah pohon tersebut. Dia duduk di pinggir lantai kayu sambil membiarkan kakinya melayang-layang di udara. Menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya panjang. Lega. Rasa sakit di sekujur tubuhnya lenyap seketika.
Matanya menatap lurus ke depan. Memandang pergantian tugas matahari dengan bulan. Sirat senja yang menyinari mukanya memberikan ketentraman yang dia rindukan.
“ Aku akan segera menyusul kalian. ” Mareta tersenyum menengadahkan mukanya ke atas. Sesaat kemudian dia menjatuhkan tubuh kecilnya hingga membentur batu-batu di bawahnya.
***
Wangi kayu mahoni, senja yang tenggelam, sepoi angin yang dihembuskan bumi, serta sepasang kupu-kupu yang berseliweran seakan menyambut kedatangan nya. Tak pernah ia merasakan kedamaian seperti ini.
Mailida, September 2011
Comments
Post a Comment