ALANDA
Sudah halaman ke 100. Dua laki-laki berkacamata yang sedari tadi sibuk berdiskusi di depan ku pun sudah mulai pergi. Secangkir kopi panas yang sudah mau habis seakan isyarat bahwa aku sudah cukup lama berada disini. Bosan dengan buku yang kubaca, aku pun pergi ke rak buku fiksi dan menggantinya. Sebuah kedai buku menjadi saksi bisu penantian ku atas kedatangan dirinya. Sudah 3 jam dan Abilaga belum datang juga
ABILAGA
Sesak kota metropolitan membuat diriku naik pitam. Klakson mobil menjadi pelampiasan amarah yang tak tersampai. Kancing kemeja sudah terbuka dua. Peluh keringat mengalir lancar tak seperti kemacetan yang berada di depannya. Tanganku meraih buku agenda hitam di jok belakang. Memastikan keraguan ku bahwa hari ini memang giliran Alanda.
MEDINA
Aku selalu setia menunggu senja datang. Tak kuhiraukan panggilan Ibu yang terus saja memaksaku untuk masuk. Badan ini memaku melihat pesona sore yang begitu dramatis. Aku selonjorkan badan ku menghadap langit. Secangkir teh melati, teras rumah tua dengan lantai kayu yang hangat, sepasang capung yang beterbangan, dan suara lantunan musik klasik dari gramophone Ayah selalu menjadi teman sore ku tanpa pamrih. Seakan belum lengkap, ku kirimkan sms kepada sang rindu nan jauh di sana.
“ I wish you were here, Ga. Take care wherever you are. :) ”
To: Abilaga
Sent.
NOA
Baru kali ini gue ngerasain yang namanya jatuh cinta. Sama laki-laki. Perlakuan bokap yang selalu melecehkan dan nyiksa nyokap ngebuat gue jadi pribadi yang keras dan mikir kalau cinta itu bullshit. Gue selalu menspesifikasikan laki-laki menjadi dua golongan. Kalau gak gay, ya bajingan. Itulah kenapa selama ini gue suka sama sesama jenis. Tp semuanya berubah ketika gue ketemu Aga.
ABILAGA DAN ALANDA
Alanda mengenakan kaos putih dengan syal motif animal print di lehernya. Menyeruput secangkir kopi sembari serius membaca buku. Dia duduk di kursi pojok yang menghadap ke taman bunga. Memainkan rambutnya hingga akhirnya mata itu mengarah kepada sesosok lelaki tegap di depannya.
“ Lama nunggunya, sayang?” Abilaga memberikan senyuman terbaiknya. Berharap Alanda tak marah dengan keterlambatannya.
Ia menggeleng. Kini Abilaga duduk di sampingnya. Memberikan bahu untuk Alanda bersender. Dia menenggelamkan kepalanya di atas dada Abilaga sambil melanjutkan buku bacaannya. Angin yang berhembus sudah mulai kencang, membuat Alanda menggigil kedinginan. Dia mengusap-usapkan lengannya untuk menciptakan kehangatan. Sesaat kemudian tangan Abilaga segera melingkar memeluk bahu Alanda sembari mengusap rambut Alanda dengan tangan kirinya. Tangan kanannya?
I’ll always be there. Deep in your heart. I love you. :)
To: Medina
Sent.
NOA DAN ALANDA
Kami berpapasan. Mukaku langsung pucat ketika bertemu dengan nya. Perlahan aku mulai menjauh, bergerak pelan agar tidak mencolok. Sayangnya dia keburu melihat kedatanganku.
“ Nda, apa kabar?” Noa menghampiriku sembari menenteng bola basket di sampingnya.
Aku merasakan kecanggungan yang tak bisa ku kendalikan. “ Hmm baik” jawab ku singkat saja.
“ Maen basket juga?” tanya Noa kepada ku.
“ Jemput ade gue latihan. ” jawab ku ketus memasang tampang masam dan menghindari kontak mata dengannya.
“ Nda, gue udah berubah. Gue udah gak tertarik sama lu. Santai aja sih jangan takut. Gue udah sembuh. Pacar gue laki-laki sekarang. Haha ”
Dalam hati aku sedikit lega. Namun juga heran, siapakah lelaki yang dapat mengubah kecenderungan asmara nya yang dulu tak normal?
NOA
Baju berserakan di lantai. Sudah hampir setengah jam gue mengobrak-abrik lemari mencari pakaian yang pantas untuk dipakai ke acara perkawinan. Tapi nihil, selama ini gue emang bukan wanita.
“ Buuuuu..” gue teriak putus asa.
Ibu berlarian ke arah kamar. Tangannya masih dilumuri sabun seperti sedang mencuci piring. Dia membersihkan tangannya kepada baju yang dikenakannya. Raut mukanya khawatir mencari tau apa yang terjadi.
“ Kenapa sayanng? ”
“ Aga mau ngajak aku ke kawinan temennya. Tapi gak ada baju nih ah. Arrrg” Geram gue sedikit kesal.
Ibu tersenyum tersipu melihat kelakuan anaknya yang lucu. Di dalam hati dia begitu senang dengan perubahan Noa dan sangat bersyukur atas kedatangan Abilaga ke dalam hidup anaknya.
“Tunggu sebentar” Ibu pergi meninggalkan gue sendirian dengan tumpukan baju dimana-mana. Sesaat kemudian dia datang membawa gaun putih berenda yang klasik namun sangat manis.
Di dalam hati gue bertanya. Yakin,mau pake itu?
Tapi tak ada pilihan lain. Gue harus segera mengenakannya. Ibu menambahkan kalung mutiara putih di leher. Dengan lihai ibu mengoleskan sedikit make up di wajah gue yang kayaknya perlu waktu untuk beradaptasi dengan benda asing yang tiba-tiba datang. Sempurna. Siapapun tak akan mengenali gadis manis yang terlihat di kaca sekarang ini. Itu gue?
MEDINA
Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku merayakannya sendirian. Aku pergi mengunjungi sungai tempat kami bertemu pertama kalinya ketika kami masih berumur 7 tahun. Sudah larut malam, aku membawa sebatang lilin sembari duduk di pinggiran danau. Kunang-kunang mengedipkan cahayanya kepada ku.
Dengan ditemani bulan dan satu batang lilin yang hampir redup, aku menuliskan sesuatu di secarik kertas yang kubawa dari rumah.
Untuk mu, Abilaga.
Kita terhalang oleh ruang, jarak, dan waktu
Tak mengapa bagiku.
Karena ada kesetiaan yang menunggu
Kita terhalang oleh ruang, jarak, dan waktu
Tak mengapa bagiku.
Karena aku selalu sabar hingga saatnya menyatu
Kita terhalang oleh ruang, jarak, dan waktu
Tak mengapa bagiku.
Aku menunggumu sampai kulit ini mulai layu
Surat tak tersampaikan itu ku jadikan sebuah perahu kertas yang ku hanyutkan ke sungai yang mengalir. Selamat tahun ke 6, Abilaga.
ABILAGA DAN NOA
Aga berbohong. Tak ada pesta pernikahan. Dia mau ngerjain gue aja. Dasar penipu ulung. Lalu buat apa gue dandan kaya mau ngelenong begini? Gue udah coba biar muka gue gak ditekuk cemberut. Tapi gak bisa. Gue bete.
“ Kamu cantik sumpah!” Aga merayu. Standar bualan lelaki kebanyakan. Gak mempan tuh, buat gue.
“ Kalo cuma mau jalan bareng doang bilang dong ah, jadi gak perlu ribet begini. Macam banci aja gue”
Aga tertawa terbahak-bahak di sampingnya. Dia mengacak-acak rambut gue dengan rasa tak bersalah. Membuat sasakan di kepala gue hancur seketika. Nice. Trims.
Tiba-tiba Aga memberhentikan mobilnya. Dia mendekatkan mukanya yang tampan itu ke muka gue. Dia menatap gue lekat-lekat. Tangan kami bersentuhan.Dia menggenggamnya dengan erat. Gue bakal first kiss nih? Oh my God. Gak bisa gue! Gimana caranya?
Kini jarak gue sama Aga cuma satu jengkal. Gue bisa merasakan deru napasnya secara jelas. Gue berharap suara jantung gue yang terus-terusan berdegup kencang gak kedengeran. Ini lebih memacu adrenalin dibandingkan ikut turnamen basket tingkat nasional. Mampus gue. Mampus gue.
“ Ngapain lu merem-merem. Sambil monyong-monyongin bibir? Itu bulu mata palsu lu copot hahaha”
Sontak gue langsung tersadar. Gue udah gak tau lagi ni muka mau di taro dimana. Sepanjang jalan gue memalingkan muka ke jalan. Mati kutu dibuatnya.
Sekarang mobil bener-bener berhenti. Abilaga mencoba memalingkan wajah gue ke arahnya. Dia tersenyum. Sialan, senyuman maut.
“ I love you” gitu katanya.
“Gombalan Cheesy ah.” Kata gue gengsi. Gue lagi-lagi memalingkan muka ke jalan. Menatap rintikan hujan yang menempel di kaca. Lantunan lagu I`m Glad there is you - Jamie Cullum di mobilnya mengiringi malam gue dan Abilaga hari ini. Tiba-tiba ada aliran listrik mengalir ke tubuh gue. Sambil senyum-senyum sendiri, gue menjawab dalam hati. I love you too. Hihi.
In this world of ordinary people...
Extraordinary people,
I'm glad there is you.
I live to love,
I love to live with you beside me
This role, so new
I'll muddle through with you
If you'll guide me through.
In this world where many, many play at love
And hardly any stay in love,
I'm glad there is you.
More than ever, I'm glad there is you.
ALANDA DAN ABILAGA
Dari kecil aku takut ketinggian. Dan Abilaga membantuku untuk menghilangkan phobia ku itu. Dia mengajakku menaiki kereta gantung di akhir malam minggu untuk melihat indahnya kota Jakarta dari atas. Dia menyuruh petugas yang berjaga untuk menyalakan kembang api dari bawah. Dari situ aku sama sekali sudah tidak takut lagi. Dia mengubah anggapan ku tentang betapa mengerikannya ketinggian. Dia selalu bilang, jangan pernah takut tentang apapun jika masih ada aku.
Dari kecil aku tak memiliki sosok lelaki di kehidupan ku. Ayah meninggal ketika aku berumur 6 tahun. Abilaga lah yang kini menjaga ku. Di kantor, banyak lelaki yang menatap ku dengan pandangan tak senonoh. Setelah kuceritakan hal itu kepadanya, aku tak pernah lagi dilecehkan. Semua menghormatiku. Namun aku tak mengerti mengapa sehari setelahnya semua teman kantor yang melecehkan ku itu memiliki luka lebam di mukanya. Dia selalu bilang, kau aman jika masih ada aku.
Betapa beruntungnya aku memiliki lelaki sepertinya. Baik, peduli, dan pasti… uhuk-uhuk. Tiba tiba tenggorokkan ku tersedak. Seakan tubuh ini tak rela jika aku mengatakan kata setia.
MEDINA
Banyak lelaki yang mencoba membuatku bahagia dengan melakukan banyak hal special. Namun, hanya lelaki yang special lah yang membuat ku bahagia tanpa melakukan apapun. Dan itu Abilaga.
***
Aku masih menunggu senja datang. Secangkir teh melati, teras rumah tua dengan lantai kayu yang hangat, sepasang capung yang beterbangan, dan suara lantunan musik klasik dari gramophone Ayah tetap setia menemaniku. Hari ini minggu ketiga di bulan Februari. Itu artinya Abilaga akan datang. Sungguh aku tak sabar. Kupersiapkan diriku sebaik mungkin.
ABILAGA DAN PIKIRANNYA
Kau menyakiti tiga wanita.
Tidak, aku membahagiakan mereka.
Kau berselingkuh.
Permasalahan dari sebuah perselingkuhan adalah jika diketahui. Selama mereka tak tau dan mendapatkan porsi yang sama, tak mengapa.
Kau tidak setia, dan parahnya kau membuat mereka setia kepada mu.
Ya, aku berterimakasih untuk itu. Haha.
***
Abilaga melanjutkan perjalanannya menuju Bandung. Menyalakan rokoknya sambil menyanyikan lagu yang di putar di radio. Dia merogoh buku agenda hitam di sampingnya untuk memastikan bahwa hari ini memang giliran Medina.
Medina, Bandung. Minggu ketiga di bulan Februari.
Oke baiklah. Tunggu aku, sayang..
Mailida, September 2011
Comments
Post a Comment